Mewaspadai Penyebaran Paham Khilafah Kelompok Eks Hizbut Tahrir

  • 31 Januari 2020
  • 19:20 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1702 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Pemerintahan telah resmi membubarkan Hizbut Tahrir seiring keinginan kuat kelompok tersebut untuk mendirikan negara Islam. Kendati demikian, gagasan khilafah disinyalir tidak serta merta mati seiring bubarnya Hizbut Tahrur. Masyarakat dan Pemerintah tidak boleh lengah terhadap penyebaran paham anti Pancasila tersebut karena mengancam eksistensi Pancasila .

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017. Langkah ini dianggap tepat mengingat Hibut Tahrir juga dibubarkan dan dianggap organisasi terlarang di 20 negara lain di dunia.

Di Indonesia, HTI dinilai tidak menerapkan fungsi Ormas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yaitu “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. Sebagaimana di ketahui, Hizbut Tahrir ngotot mendirikan khilafah di Indonesia. Sikap “mbalelo” tersebut jelas dapat menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban sosial  serta membahayakan NKRI.

Sesuai putusan hakim dalam pembubaran HTI, disebutkan bahwa HTI terbukti berkeinginan mengubah negara Pancasila menjadi khilafah. Maka dari itu, sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Hizbut Tahrir Indonesia telah dibubarkan. Pembubaran ormas tersebut sebagai sanksi efektif bagi ormas yang bertentangan dengan Pancasila.

Usai bubarnya HTI sebagai suatu organisasi, pemahaman yang melekat di setiap mantan anggota HTI masih tetap ada dan terus menjalar. Penyebaran ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila ditengarai masih kuat dilakukan oleh eks HTI. Lambang-lambang yang menyerupai HTI dan seruan untuk menegakkan khilafah muncul dalam berbagai momentum di Indonesia termasuk diantaranya pada Pemilu 2019, dan berbagai unjuk rasa lainnya terutama yang dilakukan oleh kelompok yang menentang pemerintah.

Eks HTI memanfaatkan momen-momen besar yang terjadi di Indonesia terutama ketika terjadi masalah besar yang menimpa Pemerintah secara langsung maupun tak langsung. Kelompok tersebut menunjukkan eksistensinya bersama dengan kelompok yang menentang pemerintah termasuk oposisi dengan menawarkan ideologi khilafah sebagai jalan keluar semua masalah yang terjadi di Indonesia.

Cara-cara dengan menumpang acara politik atau momentum lainnya ini dilakukan dengan menggunakan kedok sebagai aksi panggilan agama, sehingga pihak-pihak yang melakukan perlawanan terhadap aksi eks HTI akan langsung diberi stigma melawan agama.

Gerakan eks HTI juga berkamuflase menggunakan kedok organisasi Islam yang menargetkan kalangan terpelajar. Dalam praktiknya, eks HTI ini selalu mendoktrin kalangan pelajar dan mahasiswa agar mempercayai konsep khilafah sebagai solusi tunggal atas semua masalah yang ada. Jika kaderisasi ini terus dibiarkan, maka akan menjadi ancaman besar bagi keutuhan Indonesia yang tengah menghadapi bonus demografi.

Manuver eks HTI terus membesar sehingga Pemerintah perlu tegas dalam menyikapi aksi tersebut. Pemerintah harus mempunyai instrumen yang tegas untuk mendukung Undang-Undang tentang Ormas sehingga orang atau kelompok yang jelas melanggar Undang-Undang tersebut bisa dikenai sanksi hukum.

Tidak berhenti dengan membubarkan Organisasi HTI tetapi harus disertai dengan ancaman sanksi hukum bagi pihak-pihak yang masih beraktivitas menyuarakan tujuan HTI atau menggunakan atribut HTI. Tanpa sanksi hukum yang kuat maka eks HTI dengan bebas tetap melakukan propaganda untuk mendirikan negara khilafah.

Pemerintah perlu tegas menindak kelompok eks HTI. Pasalnya, gerakan mereka telah menjelma menjadi beragam bentuk. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih aktif dalam mendeteksi keberadaan eks HTI yang menyebarkan paham anti Pancasila. Dengan adanya sinergitas tersebut, penyebaran paham radikal dapat diminimalisir.

Angga Raharja, Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER