Menjadikan Radikalisme Sebagai Musuh Bersama

  • 26 Januari 2020
  • 17:10 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1561 Pengunjung
google

         Opini,suaradewata.com - Radikalisme masih menjadi ancaman utama yang patut untuk diwaspadai. Penghapusan Ormas Radikal seperti HTI justru tidak membuat paham radikal sirna dari NKRI, karena ideologi tersebut tetap bersemayam dalam pemikirannya. Sudah sepatutnya Pemerintah dan masyarakat terus bersinergi untuk memberantas ideologi anti Pancasila tersebut.

              Ada sejumlah faktor yang menjadikan akar paham radikal masih tetap berkembang di Indonesia. Faktor pertama adalah perkembangan di tingkat global, dimana kelompok-kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror, seperti di Suriah, Irak da Palestina.

           Radikalisme itu satu paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru.

            Faktor selanjutnya adalah terkait dengan tersebarnya paham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif. Dalam kaitannya dengan radikalisme, Wahabisme dianggap tidak sekedar aliran, pemikiran atau ideologi, melainkan mentalitas. Dimana salah satu cirinya adalah mereka dengan mudahnya mengatakan orang yang ada di luar kelompok mereka adalah kafir, musuh dan wajib diperangi.

            Simpatisan paham Wahabisme mengampanyekan teologi ketauhidan yang berpandangan orang maksiat saja sudah dianggap keluar dari Islam. Selain itu, mereka amat gemar berkonfrontasi dengan kelompok di luar mereka. Sempitnya mereka beranggapan yang bukan Islam berarti musuh.

            Musuh sudah berarti sesat dan hal itu wajib disikat. Selain itu, mereka juga menghalalkan segala cara dengan kekerasan, memakai dalih nahi munkar sampai ke hal kecil yang remeh temeh. Bahkan mereka juga mengecam orang muslim yang mengucapkan selamat Natal.

            Selanjutnya adalah faktor kemiskinan, meski hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikal. Hal utama yang kemungkinan membuat keterkaitan antara kemiskinan dan radikalisme adalah perasaan termarjinalkan.

            Pada kesempatan berbeda Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror kerap melakukan aksi penangkapan maupun penggeledahan terhadap rumah terduga teroris di Jawa Barat.

            Hal tersebut tentu menjadi sebuah pertanyaan besar di benak masyarakat. Pasalnya, masyarakat Jawa Barat identik akan keramahan dan kesantunannya.

            Sekretaris MUI Jawa Barat, Rafani Achyar mengatakan, terorisme di Jawa Barat erat kaitannya dengan radikalisme. Pihaknya juga menilai bahwa Jawa Barat merupakan lahan subur bagi kelompok radikalisme keagamaan. Bahkan, Rafani menyebutkan Jawa Barat sebagai satu diantara wilayah kategori zona merah radikalisme.

            Rafani menjelaskan, terdapat tiga tahapan yang pasti ditempuh seseorang sebelum menjadi atau terlibat dalam jaringan terorisme. Pertama seseorang tersebut memiliki keilmuan keagamaan yang rendah, kemudian mengikuti sebuah kajian keagamaan yang salah atau kajian yang memahami agama secara tekstual, dan jauh dari konsep ajaran agama Islam yang damai dan toleran.

            Pada fase ini, biasanya melibatkan generasi muda yang memiliki semangat keagamaan tinggi namun salah dalam memilih kajian atau oknum guru agama yang diikuti.

            Lanjutnya, Rafani menuturkan setelah seseorang tersebut menjadi intoleran, mulailah ia masuk pada fase radikalisme dan berkelompok atau mengekslusifkan diri dengan enggan bersosial dengan kelompok masyarakat lainnya.

            Pada fase ini, seseorang yang sudah terpapar radikalisme enggan menerima kebenaran dari kelompok lain. Bahkan, cenderung lebih mudah menyalahkan orang lain hingga mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengannya.

            Setelah melewati fase intoleran dan radikal, barulah seseorang tersebut dapat terjerat dalam lingkaran terorisme. Pada fase terakhir ini biasanya seseorang yang sudah dibaiat oleh kelompok atau jaringan terorisme tidak segan-segan untuk membunuh dan menganiaya kelompok lainnya. Terutama kelompok yang memiliki pemahaman berseberangan dengannya.

            Sebelumnya, Eri Sofyan selaku inisiator Forum Bela Negara Alumni Universitas Indonesia (BARA UI) menyebutkan bahwa ancama penyebaraan ideologi radikalisme bergerak melalui 2 cara, yaitu metode kekuatan keras (hard power) serta metodi kekuatan lunak (soft power).

            Metode hard power muncul dalam bentuk kekerasan. Seperti teror, premanisme dan sejenisnya. Metode hard power tentu relatif mudah diatasi oleh Polisi, TNI atau BNPT. Tetapi justru yang mesti menjadi perhatian masyarakat yaitu metode soft power, seperti brainwashing.

            Eri menuturkan brainwashing ternyata tidak hanya berhasil pada kalangan akar rumput saja, tetapi juga menyasar pada target yang lebih tinggi.

            Dengan adanya fakta tersebut, tentu kita harus menjadi imun bagi kita sendiri agar tidak mudah terpengaruh oleh paham radikal.

Rangga Septembedino, Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER