Saksi Notaris Lemahkan Bos Paradiso Soal Akta Otentik

  • 10 Desember 2019
  • 21:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3403 Pengunjung
suaradewata

Denpasar, suaradewata.com - Sidang kasus dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen pada akta otentik dengan terdak bos Hotel Kuta Paradiso Harijanto Karjadi kembali digelar di PN Denpasar, Selasa (10/12).

Tim JPU yang diketuai Ketut Sujaya.SH menghadirkan tiga saksi sekaligus di ruang sidang utama/Cakra. Ada pun saksi yang dihadirkan kali ini adalah I Gusti Ayu Nilawati sebagai notaris bersama dua orang stafnya yang salah satunya bernama I Gusti Rai Kartika.

Namun dalam persidangan yang diketuai oleh Hakim Soebandi,SH.MH penjelasan lebih banyak dilakukan notaris Nilawati. Sementara kedua stafnya mendukung penjelasan atasannya.

Dalam kesaksiannya, Nilawati mengaku jika dirinya hanya membuat akte notaris. Nilawati yang berkantor di Jl Raya Kuta Nomor 87 tersebut mengaku sudah mengenal terdakwa sejak tahun 1996 karena terdakwa sudah berhubungan dengan Notaris Nilawati untuk berbagai kepentingan perusahan.

Menurut Nilawati, dirinya hanya mengeluarkan akte atas dua peristiwa. Pertama, soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dijelaskan, dalam RUPS tersebut sudah ada tandatangan terdakwa selaku direktur utama dari PT GWP yang juga membawahi Hotel Kuta Paradiso.

"Saya hanya me-notarial-kan hasil RUPS. Saya hanya mengeluarkan akta dari RUPS. Semua penelitian, prosedur dilakukan. Dan di dalamnya ada tanda tangan terdakwa," ujarnya.

Terkait akta jual beli saham PT GWP, dari RUPS itu ada keputusan untuk menjual saham. Dalam akta kedua ini diketahui antaraHartono Karjadi (masih kerabat terdakwa) dan Sri Karjadi.

Ia mengaku jika peran terdakwa adalah ada di RUPS yang ditandatangani terdakwa selaku direktur utama. "Penjualan saham ini juga merupakan kelanjutan dari RUPS yang ditandatangani terdakwa. Kami hanya mengeluarkan akta. Tidak lebih dari itu," ujarnya.

Nilawati juga membantah jika pembuatan akta itu karena adanya tekanan dari berbagai pihak. "Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya, yang sesuai dengan proses yang terjadi. Dan saya mengeluarkan akta itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada," ujarnya.

Ia meyakinkan sidang bahwa hasil RUPS itu dinotarialkan oleh notaria untuk PT GWP. "Intinya, terdakwa yang menyatakan keputusan rapat tersebut sah. Kemudian terdakwa yang menandatangani keputusan RUPS tersebut. Kami menilai bahwa standar RUPS terpenuhi. Jual beli saham dibuat berdasarkan RUPS. Jadi tidak masalah," bebernya.

Penjelasan saksi fakta ini rupanya tidak memuaskan terdakwa. Melalui penasihat hukumnya, saksi  Nilawati diminta untuk dihadirkan kembali dalam persidangan berikutnya.

"Tujuannya untuk mencocokan dokumen antara yang dipegang Notaris  Nilawati dan dokumen yang dipegang oleh PT GWP,"sambungnya.

Permohonan tersebut dikabulkan Ketua Majelis Soebandi dan disetujui tim JPU. Artinya dalam persidangan berikutnya, Notaris Nilawati kembali dihadirkan dengan membawa sejumlah dokumen yang diminta. 

Sebagaimana tertuang dalam dakwaan, kasus yang menjerat bos Paradiso Grup ini terjadi pada 14 November 2011 bertempat di Notaris I Gusti Ayu Nilawati yang beralamat di Jalan Raya Kuta,No.87, Kuta Badung.

Berawal dari akta perjanjian pemberian kredit No 8 tanggal 28 November 1995 yang dibuat di notaries Hendra Karyadi yang ditandatangani PT Geria Wijaya Prestige (GWP) yang diwakili terdakwa Harijanto Karjadi selaku Direktur Utama dan Hermanto Karjadi sebagai Direktur.

Dalam perjanjian tersebut PT GWP mendapat pinjaman dari Bank Sindikasi (gabungan 7 bank) sebesar USD 17.000.000. Pinjaman kredit tersebut PT GWP untuk membangun Hotel Sol Paradiso yang kini telah berganti nama menjadi Hotel Kuta Paradiso di Jalan Kartika Plasa Kuta, Badung.

Sebagai jaminan kredit, PT GWP menyerahkan tiga sertifkat HGB di Kuta serta gadai saham PT GWP milik Harijanto Karjadi, Hermanto Karjadi dan Hartono Karjadi kepada Bambang Irawan sebagai kuasa PT Bank PDFCI yang nantinya bergabung dengan Bank Danamon sebagai agen jaminan.

Dalam rapat kreditur PT GWP yang digelar Maret 2005, Bank Danamon mengundurkan diri sebagai agen jaminan dan menunjuk PT Bank Multicor selaku agen pengganti. Bank Multicor sendiri akhirnya berubah hingga akhirnya piutang PT GWP dipegang PT Bank China Cntruction Bank Indonesia (CCB Indonesia).

Selanjutnya korban Tommy Winata membeli piutang PT GWP. Harga piutang yang dialihkan CCB Indonesia kepada pembeli adalah Rp 2 miliar. “Dengan adanya akta tersebut, Tomy Winata merupakan orang yang berhak menagih utang kepada PT GWP,” tegas JPU. 

Namun saat dicek oleh Dezrizal yang merupakan kuasa hukum Tomy Winata, ada beberapa kejanggalan dalam kredit PT GWP. Salah satunya adalah jual beli saham antara Hartono Karjadi dengan Sri Karjadi yang merupakan adiknya.

“Bahwa terdakwa Harijanto Karjadi yang memberikan persetujuan pergantian pemegang saham PT GWP. Padahal dia mengetahui bahwa Hartono bersama-sama terdakwa Harojanto dan Hermanto Karijadi telah menjaminkan sahamnya kepada Bank Sindikasi sesuai akta gadai saham No. 28 tanggal 28 November 2005,” jelas JPU.

Bahwa akibat perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi dan Hartono Karijadi (DPO) mengakibatkan korban Tomy Winata mengalami kerugian USD 20.389.661 atau sekitar Rp 285 miliar. mot/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER