Mewaspadai Media Sosial Bisa Menjadi Inkubator Radikalisme

  • 20 November 2019
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1688 Pengunjung
google

Opini, suaradewata.com - Media sosial merupakan sarana interaksi baru yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyararakat. Namun, ancaman penyebaran radikalisme mengintai pengguna media sosial seiring banyaknya pelaku teror yang belajar dari internet.

Pesatnya perkembangan media sosial di Indonesia tentu sudah tak bisa dipungkiri, dilihat dari hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengguna Internet Aktif tahun 2015 di Indonesia sebanyak 88,1 juta dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 252,4 juta dan pengguna aktif menggunakan media sosial sebanyak 87,4%.

Tentu saja data tersebut menggambarkan sebuah keadaan bahwa masyarakat Indonesia telah banyak yang melek IT dan menggunakan media sosial pada kesehariannya, hal inilah yang banyak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok radikal yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan propagandanya.

Sementara itu, Densus 88 antiteror berhasil mengamankan AT di Jembrana Bai, empat pekan lalu. AT disebut intens berkomunikasi dengan Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, yang merupakan Pelaku penikaman mantan Menko Polhukam di Banten. 

AT tak ditangkap seorang diri. Putranya ZAI, yang baru berusia 14 tahun juga turut disergap polisi. Keduanya diduga merencanakan aksi tetor di wilayah Bali. Dari tangan bapak dan anak ini, polisi menyita busur panah, mur, baut dan komponen lainnya yang diduga dijadikan bahan bom.         

ZAI bukanlah satu-satunya anak remaja yang terpapar radikalisme. Beberapa bulan sebelumnya, Polisi juga berhasil membekuk YM alias Kautsar, remaja berumur 18 tahun di Rawalumbu, Bekasi. Kautsar, yang juga merupakan atlet karate, direkrut oleh amir Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, EY alias Rafli, juga telah direkrut sejak masih bersekolah di sebuah SMA Negeri.

Penangkapan demi penangkapan tersebut tentu saja menambah panjang daftar deretan remaja yang terlibat dalam aksi teror. Peristiwa pengeboman di Surabaya pada Mei 2018 ataupun bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur pada 2016 silam juga didapati melibatkan anak remaja. Dua pelaku di Samarinda masih berumur 16 tahun dan 17 tahun. Dalam usia yang masih muda mereka memiliki peran sebagai pembuat bom.

Hasibullah Satrawi yang merupakan Peneliti terorisme menyebutkan bahwa aksi anak-anak muda tersebut beberapa diantaranya karena mengikuti orang tua yang lebih dulu terpapar paham ekstrimisme. Ini terjadi dalam kasus bom 2 gereja di Surabaya.

Anak-anak yang terlibat aktif dalam aksi teror tersebut, Hasibulah berujar bisa jadi karena kelompok teroris saat ini mengalami ‘milenialisasi’. Kelompok teroris dengan mudah menyusupkan beragam propaganda yang mampu memikat pengguna internet dan media sosial.

Ditengarai media sosial memiliki pengaruh dalam jaringan teroris. Mereka memanfaatkan media sosial untuk emnggalang, merekrut, mempengaruhi dan mengajak para remaja. Tak hanya itu pemberian materi pengeboman juga dilakukan melalui jalur media sosial.

Sehingga penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat. Dulunya anak usia belasan agar bisa memiliki peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.

Sejak Era ISIS, proses radikalisme berubah, yang sebelumnya melalui kamp-kamp pelatuhan, kini kebanyakan terjadi melalui media internet. Seakan Media sosial menjadi inkubator radikalisme hingga kemudian tren radikalisme semakin mudah dan cepat.

Anak-anak muda tersebut, mendapatkan paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan. Narasi tersebut memunculkan persepsi berupa ancaman bahwa dunia ini akan memburuk.

Untuk melakukan ‘perbaikan’ pada dunia itu, kelompok-kelompok radikal menyediakan peran bagi anak-anak muda dengan kalimat. Kalau kamu mau jadi orang yang baik, kamu harus punya kontribusi.

Proses-proses diskusi di media sosial tersebut tentu tidak terlepas dari pantauan kelompok radikal. Mereka yang konsisten terlibat dalam diskusi akan diundang dalam grup yang lebih ekslusif melalui aplikasi WhatsApp atau Telegram.

Dalam menangani hal ini, tentu saja proses deradikalisasi harus melibatkan orang tua, karena jika tidak maka mereka akan mencari keluarga baru, dan yang sulit adalah apabila orangtuanya sudah radikal terlebih dahulu.

Konkritnya kita harrus waspada akan propaganda hitam yang banyak tertulis di dunia maya melalui tulisan-tulisan menyesatkan yang memelintir ayat-ayat suci dan kemudian menjadikannya pembenaran dalam pesan-pesan dan aktifitasnya. Apalagi jika terdapat tulisan yang mengajak untuk membenci kelompok lain.

Dodik Prasetyo,Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER