Kampanye di Masjid Dilarang Karena Berpotensi Memecah Belah Umat

  • 18 Maret 2019
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1901 Pengunjung
google

Opini, suaradewata.com - Proses pemilihan presiden tengah memasuki masa kampanye. Di masa kampanye ini, baik peserta, tim kampanye maupun peserta diharapkan bisa menaati aturan main dalam kampanye agar tak terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti di masa lalu.

Pelanggaran yang saat ini sering terjadi adalah memanfaatkan tempat ibadah seperti masjid untuk berkampanye. Sebenarnya ketika calon legislatif masuk ke dalam masjid untuk ibadah shalat, maka tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai kampanye. Pelanggaran terjadi apabila caleg membawa atribut kampanye atau tim kampanye lengkap dan menyampaikan pesan kampanye sambil ibadah di masjid. Nah, kalau ini diduga sudah termasuk pelanggaran.

Penggunaan masjid sebagai tempat berkampanye memunculkan kekhawatiran. Seperti yang disampaikan oleh Bawaslu maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua lembaga tersebut mengkhawatirkan apabila masjid dan tempat ibadah lainnya dimanfaatkan untuk berkampanye, maka bisa memecah belah umat. Aktivitas pengajian tak diperkenankan disusupi oleh agenda politik. Bukan hanya tempat ibadah, kantor pemerintahan dan pengajian-pengajian juga seharusnya tak dijadikan sebagai forum kampanye.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri menegaskan masjid adalah tempat ibadah. Sudah seharusnya masjid dimakmurkan. Aktivitas kampanye tidak diperbolehkan dilakukan di masjid, sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya. Pengurus masjid juga sebaiknya tak memfasilitasi masjid sebagai tempat kampanye. Tapi, untuk aktivitas seperti pemberdayaan masyarakat, ekonomi keumatan maupun ajakan untuk berperan serta di Pemilu 2019 nanti masih bisa ditoleransi. Hal itu sepanjang tidak ada ajakan untuk memilih salah satu calon tertentu baik Pilpres maupun Pileg.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mengatur tempat-tempat yang tidak diperbolehkan untuk kampanye. Tempat-tempat tersebut adalah institusi pendidikan, tempat ibadah dan fasilitas pemerintah. Hal ini berlaku untuk Pilkada maupun Pemilu. Pelanggaran terhadap aturan tersebut bisa mengakibatkan sanksi pidana bagi pelanggarnya.

Tempat-tempat tersebut masih bisa dipakai oleh peserta pemilu dengan dua syarat. Syarat pertama peserta pemilu dilarang menggunakan atribut kampanye. Syarat yang kedua, peserta pemilu mendapatkan undangan dari pihak penanggung jawab institusi pendidikan, fasilitas pemerintah maupun tempat ibadah. Sebagai contoh, undangan untuk mengisi acara atau sekedar beribadah bersama.

Penggunaan tempat ibadah, sekolah maupun pondok pesantren untuk berkampanye bukan hanya berpotensi memecah belah umat, tapi, juga berpotensi melanggar hak-hak anak. Anak-anak memiliki hak untuk dilindungi dari aktivitas penyalahgunaan politik. Itu sebabnya, institusi pendidikan harus steril dari kampanye tim sukses, panitia maupun peserta pemilu. Pendidikan politik seperti pemberian informasi pemilu kepada remaja usia 17-18 tahun tidak diberikan melalui sekolah melainkan dengan cara lain seperti sosial media.

Sementara itu, penyalahgunaan politik terhadap anak-anak sejatinya masih sangat tinggi. Berdasarkan data KPAI, di Pemilu 2014 lalu, ada 15 jenis pelanggaran berkaitan penyalahgunaan anak di dalam arena politik. Setidaknya terjadi 285 pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh partai politik saat itu. Sedangkan 36 bentuk pelanggaran dilakukan oleh calon kepala daerah, pendukung maupun tim sukses pada pilkada 2017 lalu. Hingga saat ini potensi penyalahgunaan anak maupun fasilitas pendidikan untuk kampanye menduduki peringkat atas dalam daftar pelanggaran pemilu.

Masjid Seharusnya Jadi Pemersatu Umat

Di masa kampanye, masjid seharusnya bisa menjadi sarana pemersatu umat bukan pemecah belah. Anjuran ini tak hanya berlaku untuk penanggung jawab masjid saja, tapi juga untuk tempat ibadah umat lainnya. Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemimpin umat mengajak umatnya untuk mewujudkan pemilu yang lebih damai, demokratis, beradab, rukun dan berkualitas.

Perbedaan politik jangan sampai mengganggu bahkan merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Masyarakat diajak untuk bersaing secara sehat layaknya suatu perlombaan setiap lima tahun sekali, jangan sampai ada ketegangan. Masjid sebagai sarana berdakwah seharusnya menjadi pelindung umat dari hasutan ajakan dan ujaran yang bisa memecah belah umat.

Apabila ada tokoh agama, mubaligh atau penceramah yang mengajak politik praktis di masjid, maka bisa dilaporkan ke Bawaslu untuk kemudian ditangani menurut koridor hukum. Tapi, untuk bahasan politik keumatan maupun aktivitas lainnya yang bertujuan mencerdaskan umat, maka aktivitas tersebut masih bisa dilakukan. Seruan menjauhkan politik praktis dari masjid ini semakin marak setelah beberapa waktu yang lalu muncul kasus penyalahgunaan masjid sebagai tempat kampanye salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Adanya pelanggaran tersebut ditengarai karena masih minimnya pemahaman masyarakat terkait fungsi dan penggunaan masjid. Oleh karena itu, peran dari ulama dan umara dinilai vital dalam upaya pencegahan masjid dipergunakan untuk fungsi yang melenceng dari semestinya. Ulama dan umara diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat dan mengembalikan fungsi masjid agar bisa memberikan kebaikan bagi semua umat. Dengan begitu, masjid tak hanya menjadi tempat beribadah umat, tapi juga bisa mempersatukan umat di masa pemilu seperti saat ini.

 

Edy Faturrahman, Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Budaya


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER