Korupsi Ratusan Juta, Staf UPT PBB Kerambitan Terancam Pidana 20 Tahun

  • 04 Oktober 2018
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 9669 Pengunjung
suaradewata.com

Denpasar, suaradewata.com - Ketut Suryana alias Pak Edi, Staf UPT PBB Kecamatan Selamadeg Timur-Kerambitan, didakwa pasal berlapis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia diadili karena kasus dugaan korupsi Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPTHB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB-P2) dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah.

Dihadapan majelis hakim yang diketuai Ni Made Sukereni, terdakwa yang tinggal di Banjar Sembung Meranggi, Desa Sembung, Kerambitan, Tabanan itu didakwa dengan pasal berlapis.

Pada dakwaan Primair, terdakwa dijerat dengan ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Sementara dalam dakwaan subsidaer, terdakwa dituding melanggar Pasal 3 dalam undang-undang yang sama atau, Pasal 9 pada undang-undang yang sama yakni melakukan upaya memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 138,95 juta.

"Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara tidak menyetorkan pajak BPHTB dan PBB-P2 ke kas daerah. Serta memalsukan bukti lunas SSPD-BPHTB dan PBB-P2," ungkap JPU Putu Nuriyanto dan Gede Handy Sunantara.

Tim Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Tabanan menjelaskan, posisi terdakwa sebagai staf pengadministrasian umum pada UPT PBB-P2 dan BPHTB yang mewilayahi Kecamatan Kerambitan dan Selemadeg Timur.

Dalam posisi itu, terdakwa memiliki tugas-tugas antara lain mendistribusikan SPPT PBB-P2 ke desa-desa di dua kecamatan tersebut. Melakukan pendataan obyek pajak. Melakukan pungutan PBB-P2 bila diminta kepala desa. 

Melakukan penelitian lapangan untuk pendaftaran SPPT, dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada atasan.

Kasus yang menjerat terdakwa ini bermula dari permintaan tolong seorang wajib pajak, Desak Putu Eka Sutrisnawathy pada September 2017. Desak Putu Eka Sutrisnawathy dalam kapasitasnya sebagai saksi saat itu meminta tolong kepada terdakwa untuk mengurus pembayaran pajak penjualan dan pembelian tanah.

Kemudian, pada 5 September 2017 terdakwa bertemu dengan saksi di kantornya dan memberikan data atau dokumen berupa fotokopi KTP dan KK penjual tanah atas nama I Gede Tiasa/I Wayan Suweca dan pembeli atas nama saksi sendiri.

Selanjutnya fotokopi SHM atau sertifikat hak milik Nomor 09250 di Desa Banjar Anyar, surat ukur tertanggal 16 Juli 2012 Nomor 05904 seluas 1.590 meter persegi atas nama I Gede Tiasa/I Wayan Suweca. Serta fotokopi perjanjian pengikat jual beli atau PPJB tertanggal 15 November 2016 di Notaris Putu Harmita.

Singkat cerita, terdakwa memberikan pertimbangan teknis kepada saksi. Selanjutnya pada 6 September 2017 terdakwa datang ke Kantor Badan Keuangan Daerah Tabanan untuk meminta lembar informasi data pembayaran PBB atas nama I Gede Tiasa/I Wayan Suweca. Serta melakukan beberapa proses lainnya sembari mengucurkan dana yang diperlukan. Total dana yang sudah dikeluarkan Rp 232,2 juta.

Dari total dana Rp 232,2 juta itu, terdakwa gunakan untuk melakukan pengurusan proses pembayaran pajak PBB, PPH, dan BPHTB atas nama pemohon (saksi). "Sampai akhirnya PBB dan BPHTB tidak terdakwa setorkan dan digunakan untuk kepentingan pribadinya," bebernya.

Perbuatan terdakwa itu terungkap saat proses penerbitan akta jual beli dengan Nomornya 434/2017 yang semula diurus di notaris. Saat akta jual beli itu didaftarkan notaris ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tabanan untuk proses peralihan hak.

Namun ditolak BPN karena kelengkapannya tidak memenuhi syarat. Sampai akhirnya perbuatan terdakwa diketahui telah memalsukan bukti setor pajak dan belum ada penyetoran ke kas negara atau daerah.

Dalam dakwaan juga diuraikan penggunaan uang senilai Rp 232,2 juta oleh terdakwa. Di antaranya pembayaran PPH mewakili penjual I Gede Tiasa/Wayan Suweca di kantor pos sebesar Rp 56,2 juta lebih. Dan biaya notaris sebesar Rp 9 juta.

Sementara biaya PBB-P2 dan BPHTB yang tidak dibayarkan terdakwa sisanya Rp 166.914.00 ternyat dipakai untuk keperluan pribadinya. Di antaranya membayar biaya operasi kelahiran menantunya sebesar Rp 10 juta, dan membiayai upacara nelu bulanin cucu terdakwa sebesar Rp 57 juta.

Kemudian, membayar utang dari pelaksanaan upacara pernikahan anak terdakwa sebesar Rp 50 juta, dan membayar utang di Bank Mahaboga dan Bank Permata di Kerobokan, Badung.

Akibat perbuatan terdakwa tersebut, negara atau daerah dalam hal ini Pemkab Tabanan dirugikan keuangannya sebesar Rp 138.953.329.  

Dengan rincian, pajak BPHTB yang tidak disetorkan sebebesar Rp 109.572.000 dan PBB-P2 yang tidak disetorkan sebesar Rp 29.381.329.

Terhadap dakwaan yang disampaikan penuntut umum tersebut, terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya, I Made Arta Yasa, tidak mengajukan keberatan atau eksepsi. mot/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER