Kekerasan Seksual Anak di Buleleng; Praktisi Sengit, Polres Buleleng “Bungkam”??

  • 13 Maret 2018
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 6648 Pengunjung
suaradewata.com

Buleleng, suaradewata.com – Kekerasan fisik dan psikis serta pelecehan seksual yang dialami Melati bukan hanya membuat geram pemerintahan adat. Diamnya pihak kepolisian Resor Kabupaten Buleleng dengan dalih belum ada laporan dari pihak keluarga pun membuat praktisi hukum muda I Kadek Doni Riana (KDR) bereaksi keras.

“Saya siap mengadvokasi korban (Melati) dengan cuma-cuma jika memang dibutuhkan. Ini sebetulnya jelas sudah masuk Pidana Murni dan kepolisian tidak perlu menunggu laporan untuk turun melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sudah perintah undang-undang lho dan ini lex spesialis (Aturan Khusus),” ungkap KDR yang saat ini masih duduk sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia Denpasar, Selasa (13/3/2018).

Menurut Doni, pemberlakuan aturan perlindungan anak sudah bisa mengabaikan aturan umum yang ada. Dikatakan, ada aturan perundang-undangan yang wajib diketahui pihak kepolisian terkait dengan penerapan hukum suatu tindak pidana umum dan yang mengkhusus.

Dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, lanjut KDR, disebut dengan jelas bahwa aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang sifatnya umum. Hal itu sering disebut dengan istilah “lex spesialis derogate legi generali” yang merujuk aturan pasal tersebut. Dan dalam peristiwa kekerasan seksual yang korbannya anak dibawah umur dengan pelakunya orang dewasa, sudah sepatutnya menerapkan aturan khusus tentang perlindungan anak.

Lebih jelas KDR memaparkan terkait aturan dalam pasal 73A undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Dalam aturan pasal tersebut tegas menyebutkan terkait dengan kerjasama lintas sektoral antar lembaga terkait perlindungan anak.

Yang kemudian, lanjut KDR, dinyatakan tentang tugas Komisi Perlindungan Anak sebagai lembaga yang dibentuk negara berdasarkan pasal 76 huruf “g”. Yang dikutip dari aturan tersebut berbunyi Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap undang-undang ini.

“Itu saya baca berita ada kekerasan yang dilakukan dua remaja wanita terhadap anak SMP di Tanggerang. Polres Metro Tanggerang dapat dari video yang viral di media sosial dan sehari setelah itu langsung melakukan penangkapan terhadap dua orang pelaku. Memangnya polisi di Tanggerang dengan di Buleleng itu beda instansi dan bukan bagian dari Polri. Sehari jaraknya sudah ditangkap. Apalagi ini yang sudah sempat di introgasi dan saya dengar ada pengakuan dari pelaku,” pungkas KDR yang mencalonkan diri maju sebagai wakil rakyat di tingkat Provinsi Bali dalam Pilcaleg 2019 mendatang.

Sementara disisi lain, Dosen Hukum Pidana dari Universitas Panji yakni Ketut Wetan Sastrawan SH MH, nyaris berpendapat sama dengan yang disampaikan  mantan mahasiswanya itu (KDR). Menurut Wetan yang kesehariannya juga sebagai advokat menyebut, hukum acara yang ada saat ini untuk pidana umum masih menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Ada pasal 103 KUHAP yang menjembatani aturan pidana untuk proses pelaporan atau pengaduan. Pada dasarnya antara pelaporan atau pengaduan itu sifatnya sama-sama sebagai bentuk pemberitahuan kepada polisi tentang terjadinya suatu tindak pidana umum. Kecuali diatur lain dalam undang-undang khusus seperti kasus narkotika misalnya,” kata Wetan ditemui suaradewata.com di Pengadilan Negeri Singaraja.

Jika dalam bentuk laporan, lanjutnya, tentu harus ada korban yang dirugikan dan pelaporan langsung dilakukan oleh korban kepada pihak kepolisian. Sedangkan Pengaduan dalam konteks pemberitahuan, bisa dilakukan oleh orang lain diluar korban dengan disertai permintaan atau disebut tuntutan kepada pihak kepolisian untuk bertindak.

Yang dalam konteks Pengaduan tersebut, kata Wetan, kembali dilihat keterkaitan atau kompetensi pihak yang mengadukan terjadinya sebuah tindak pidana. Hal tersebut dilihat dari ada atau tidak adanya hubungan hukum antara seseorang yang mengadukan sebuah tindak pidana dengan tindak pidana yang sedang terjadi.

“Jika dalam kasus ini memang ada undang-undang khusus yang menentukan lain dari pasal 103 KUHAP itu, maka aturan khusus itu yang diberlakukan penerapannya. Tentu juga tidak menutup kemungkinan memberlakukan aturan yang bersifat umum dengan cara melapisnya. Istilah dalam hukum itu dijuntokan,” pungkas Wetan.

Lalu, bagaimana sikap Polres Buleleng terkait kejahatan seksual yang menimpa Melati??

Hingga berita ini diupload, pihak Polres Buleleng masih “Bungkam” alias belum ada statemen apapun terkait dengan penanganan kasus kekerasan fisik atau psikis serta kejahatan seksual yang diduga kuat dilakukan IG.

Wartawan suaradewata.com yang beberapa kali menghubungi unit terkait penanganan dan sentra informasi Polres Buleleng masih belum mengklarifikasi terkait sikap diamnya salah satu institusi penegak hukum negara itu.

Kepala Unit (Kanit) Penyidik Perempuan dan Anak (PPA) Polres Buleleng yakni Iptu Nengah Wiratningsih masih belum menjawab sejumlah pertanyaan wartawan saat dikonfirmasi melalui pesan singkat. Hal yang sama juga terjadi terhadap Kasubag Humas Polres Buleleng, AKP Nyoman Suartika, yang  belakangan diketahui sering diabaikan keberadaannya oleh beberapa satuan pada institusi Polres Buleleng. adi/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER