FPBT Ajak Generasi Muda Memaknai Lubdaka “Jaman Now”

  • 16 Januari 2018
  • 00:00 WITA
  • Tabanan
  • Dibaca: 3140 Pengunjung
suara dewata

Tabanan, suaradewata.com – Malam Siwaratri, Senin (15/1/2018) diisi dengan menggelar diskusi kecil bertajuk “Memaknai Lubdhaka Jaman Now” digelar oleh Forum Pelestari Budaya Tabanan (FPBT) bertempat di Puri Anom Tabanan, yang lokasinya tidak jauh dari titik 0 (Catus Pata) Kota Tabanan.

Diskusi renungan malam Siwa Ratri kali ini juga dihadiri oleh penglingsir Puri Anom AA. Ngurah Panji Astika yang juga selaku Ketua FPBT. Hadir pula Ketua Dekornas Puskor Hindunesia IB. Susena Pidada, Ketua PHRI Tabanan Gusti Bagus Damara, I Gede Arum Gunawan dari Teater Jineng, Perwakilan Jegeg-Bagus Tabanan, JCI Tabanan, Perwakilan organisasi kepemudaan seperti KNPI, KMHDI, Pradah, dan sejumlah anak muda perwakilan sekaa seni di Tabanan.

Ketua Panitia I Putu Arya Wiguna menerangkan pada Hari Siwaratri kali ini, disamping sebagai momentum untuk melakukan introspeksi diri, juga dirangkai dengan peringatan HUT ke-2 FPBT yang puncaknya akan dilaksanakan pada bulan Februari 2018 mendatang. “Ya di Hari Siwa Ratri ini kami sengaja memilih menggelar diskusi kecil bersama kalangan anak muda agar senantiasa memahami kembali pesan moral yang ada pada kisah Lubdaka dan bagaimana relevansinya pada kehidupan sekarang ini,” tegas Wiguna.

Sementara itu Ketua FPBT Anak Agung Ngurah Panji Astika mengatakan, banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang bisa dipetik selama 2 tahun terakhir ini. Kegiatan seni-budaya kini menjadi isu “seksi” di Tabanan dan anak muda alumi FPBT walau sudah jarang datang ke sekretariat tetapi mereka mulai berani tampil mandiri berkesenian di desa asalnya.  “Itu malah bagus karena sejalan dengan Visi-Misi  FPBT mendorong anak muda berkesenian dimana saja,” ungkapnya.

Hal itu dibuktikan dengan FPBT yang bisa eksis sampai sekarang bukan karena uang namun karena semangat dalam berkesenian yang tak pernah padam. Sejak tahun pertama FPBT bergerak tidak ada uang, namun punya semangat untuk berkegiatan untuk melestarikan seni-budaya.

Terkait kisah Lubdaka pada Hari Siwa Ratri jatuh pada Purwanining Tilem ke VII (Kapitu) merupakaan kisah sepanjang jaman, kisah Lubdaka memiliki nilai-nilai falsafah dan pesan moral yang sangat dalam. Ketua Dekornas Puskor Hindunesia Ida Bagus Susena Pidada menuturkan bahwa Mpu Tanakung adalah sastrawan besar nusantara di jaman kerajaan dulu. Karyanya jauh lebih polpuler dari dirinya, itu sangat lumrah dijaman itu, Mpu Tanakung tidak ingin namanya populer.

Dalam konteks Bali saat ini, pesan moral dalam kisah Lubdaka sangat sejalan, sekarang orang Bali mulai lengah, lengah karena mulai mengutamakan materi dan tidak taat lagi terhadap tatanan yang secara budaya terbangun menjadi struktur sosial dalam kehidupan di Bali. “Leluhur kita jaman dulu sangat paham bahwa struktur sosial sangat penting didalam kehidupan sosial, bukan dimaksudkan untuk pengkotak-kotakan, justru hal itu dimaksudkan agar unsur alam atau taksu-taksu kehidupan tetap berjalan harmonis,” tegasnya.

Menurut dia, intisari Kisah Lubdaka ada dua, yakni “eling” dan “waspada”. Eling berarti sadar akan hakekat dan nilai-nilai hakiki kehidupan. Sedangkan Waspada lebih pada sikap diri, bahwa kita sebagai orang Bali harus mulai awas dan teliti melihat gejala negatif yang muncul ditengah masyarakat saat ini.  “Jadi kisah Lubdaka mengajarkan kita untuk bisa berpikir bijaksana. Misalnya kalau sebagai pemimpin kita harus betul-betul sebagai pemikir untuk kesejahteraan orang banyak, jabatan jangan dijadikan sekedar pekerjaan atau mencari uang.  Warga Bali kini sudah sangat materialistik, Bali mulai kehilangan budaya yang bisa membangkitkan taksu,” pungkasnya.

Diskusi ini pun diakhiri tepat ditengah malam, acara kemudian dilanjutkan dengan meditasi dan doa bersama sebagai perenungan dan introspeksi diri. ayu/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER