Menjamin Kebhinekaan Dalam Pilkada Serentak

  • 23 Juni 2017
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3491 Pengunjung
ilustrasi

Abstarak

 

Imanuel Kant berpendapat bahwa manusia adalah suka berteman, manun juga suka berkompetisi dalam suasana harmoni. Pemilihan Kepala Daerah Serentak merupakan salah satu bentuk kompetisi untuk memperebutkan jabatan sebagai kepala daerah. Dengan demikain penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak wajib dilaksanakan sesuai dengan azas penyelenggaraan pemilihan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara yang patuh dengan azas penyelenggara pemilihan dan kode etik. Sehingga tidak ada satupun stake holder pemilihan tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun yang terlanggar hak dan kewajibannya.

Kata Kunci : harmoni, azas, kebhinekaan

A. Latar Belakang

Immanuel Kant merupakan filosof utama yang dijadikan basis paradigma pluralis. Menurut Kant, manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang suka berteman sekaligus juga berkompetisi, namun manusia tetap senang dengan harmoni. Beranjak dari pikiran Kant ini, maka plurarisme atau kebhinekaan adalah sebuah keniscayaan dalam masayarakat. Permasalahan terhadap pluralisme ini akan muncul tat kala terjadinya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya termasuk dalam hal ini kekuasaan. Kompetisi untuk memperoleh kekuasaan menjadi sumber konflik pluralisme tatkala para competitor menerapkan ilmu segala cara dan jarang jauh dari etika.

Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince memisahkan teori politik dari etika. Pemikiran Machiavelli tidak jarang di salah gunakan oleh para politisi sehingga menghalalkan segala cara tanpa mempertimpangkan etika dalam merebut kekuasaan itu. Pilkada DKI yang terjadi terakhir ini membuktikan bagaimana isu-isu sara berseliweran demi mendulang suara. Di beberapa daerah lain money politik pun diduga terjadi, padahal secara etika tentu hal ini tidak baik.

Pilkada DKI akan menjadi tolak ukur dan contoh bagi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi, Kabupaten dan Kota lainnya. Jakarta sebagai ibu kota negara tentu menjadi pusat informasi dan model. Terlebih-lebih dengan keberadaan media sosial, yang dilengkapi tidak adanya cara efektif menangkal berita HOAX, dalam hitungan detik hal-hal yang terjadi di Jakarta sampai dalam perhatian masayarakat di seluruh Indonesia bahkan internasional. Berita-berita baik maupun buruk akan capai dengan cepat. Berita-berita yang memupuk kebersamaan ataupun pluralisme, maupun berita-berita yang memprovokasi kontra kebhinekaan semua terdistribusi dengan cepat. Pelaku-pelaku ini dapat dari berbagai kelompok peserta pemilihan, penyelenggara pemilihan, masyarakat bahkan agen asing. Dengan demikian tentu perlu sebuah strategi untuk menanggulangi hal ini, sehingga sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak goyah.

B. Azas Penyelenggaraan dan Penyelengara Pilkada dalam Bingkai Kebhinekaan

Azas Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak dapat diperhatikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam Pasal 2 dapat diketahui bahwa Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pemenuhan azas langsung dalam melaksanakan pemilihan serentak  iimplementasikan dengan pemilih (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun)secara langsung datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memberikan suaranya. Dalam memberikan suranya pemilih tidak dapat diwakilkan oleh siapapun, baik oleh keluarga atau tokoh masyarakat atau atasannya atau petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan lain sebagainya. Kejadian di beberapa tempat pemilihan oleh beberapa orang diwakili oleh hanya satu orang tidak boleh terulang dalam Pilkada serentak yang akan datang. Pemilihan mewakili ini hanya boleh dilakukan di Papua, yang disebut sistem noken. Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengakui dan mengesahkan dengan alasan Sistem Noken menganut sistem pemilihan Langsung, Umum, Bebas dan Terbuka (LUBET), sesuai dengan Keputusan MK Nomor: 47-48/PHPU.A-VI/2009.

Azas Umum dipenuhi dengan jalan melibatkan secara menyeluruh semua warga negara (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) yang telah memenuhi persyaratan tanpa membeda – bedakan suku, agama, ras, golongan kedaerahan, pekerjaan atau status sosial. Syarat masyarakat yang boleh memilih berdasarkan undang-undang 10 Tahun 2016 dalam Pasal 56 ayat (1) berbunyi : Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih. Ayat (2) berbunyi : Warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara. Dan pada ayat (3) Jika Pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, Pemilih tersebut harus memilih salah satu tempat tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari Kepala Desa atau sebutan lain/ Lurah. Dalam praktek pelanggaran pun tak jarang dilakukan, misalnya pemilih dibawah umur namun belum pernah kawin, sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi.

Azas bebas dipenuhi dengan Setiap warga negara berhak memilih siapapun (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) berdasarkan hati nuraninya, tanpa adanya pengaruh tekanan, ancaman, paksaan, dari siapapun dan dengan apapun, serta dengan menggunakan haknya di jamin keamanannya dalam melakukan pilihannya. Dengan demikian maka TPS disiapkan agar pemilih dapat bebas memberi pilihan tanpa diintervensi oleh siapapun. TPS diberi pembatas, sehingga hanya pemilih dan petugas penyelenggara pemilihan yang diperkenankan masuk ke dalam TPS. Sehingga pemilih aman dalam melaksanakan pilihannya.

Azas Rahasia artinya pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot). Tentu dengan catatan di pemilih sendiri tidak boleh menyampaikan pilihannya kepada siapapun. Demikian pula bagi pemilih disabilitas seoptimal mungkin melakukan pilihannya sendiri, kalaupun harus dibantu oleh petugas maka petugas yang bersangkutan harus terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan akan menjaga pilihan si pemilih. Bilik suara pun dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui pilihan si pemilih. Disinilah jaminan atas kebhinekaan atau perbedaaan pilihan dapat dijamin oleh peraturan perundang-undangan.

Jujur, dalam penyelenggaraan pemilihan, penyelenggaraan pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta pemilihan, pengawas dan pemantau pemilihan, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua stake holder pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) wajib melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka tidak akan terjadi tindak-tanduk yang dapat mengganggu hasil-hasil pemilihan. Terlebih-lebih penyelenggara pemilihan harus patuh terhadap Azas-azas penyelenggara pemilihan.

Adil, dalam penyelenggaraan pemilihan setiap pemilih, stakeholder pemilihan dan peserta pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Dalam menjaga azas keadilan ini merupakan suatu hal yang sangat sulit dan rumit. Dalam menjaga azas keadilan ini para penyelenggara pemilihan tidak cukup hanya berpikir, berkata dan berbuat adil namun dia itu harus juga terlihat adil terhadap pemilih dan stake holder pemilihan. Jika hal tersebut tidak bisa dijaga maka penyelenggara pemilihan akan mendapatkan sanksi pelanggaran kode etik. Agar terhindar dari pelanggaran kode etik, maka penyelenggara pemilihan harus patuh pada azas-azas penyelenggara pemilihan.

Penyelenggara Pemilihan di dalam melaksanakan melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawabnya wajib mematuhi kode etik penyelenggara Pemilihan ini. Jika kode etik dipahami dan dipatuhi oleh Penyelenggara Pemilihan niscaya tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta tanggung jawab Penyelenggara Pemilihan dapat dilaksanakan dengan baik sehingga tidak ada suku, agama, ras, maupun golongan apapun yang merasa diperlakukan tidak adil dalam penyelenggaraan pemilihan. Jika memperhatikan landasan kode etik bagi sekeretaris yaitu : Pancasila, UUD’ 45, Keputusan MPR, Undang-Undang, dan azas penyelenggara Pemilihan, maka kode etik yang harus dipenuhi oleh Penyelenggara Pemilihan sangatlah luas.

Jika ditinjau dari azas Pemilihan maka seorang Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawabnya harus berprilaku sebagai berikut : a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. kepastian hukum; e. tertib; f. kepentingan umum; g. keterbukaan; h. proporsionalitas; i. profesionalitas; j. akuntabilitas; k. efisiensi; dan l. efektivitas.

Dalam memberikan pelayanan kepada para stake holder Pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun), baik menyangkut permohonan data, pelayanan dan sebagainya terkait penyelenggaraan Pemilihan, seorang Penyelenggara Pemilihan harus bertindak sesuai kode etik penyelenggara Pemilihan. Pelayanan itu harus mandiri tidak atas intervensi peserta Pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun). Pelayanan itu harus adil, tidak memihak atau berat sebelah antara peserta Pemilihan yang satu dengan yang lainnya (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun). Pelayanannya harus jujur, tidak menyembunyikan sesuatu yang sudah menjadi hak dari peserta Pemilihan, wajib diberikan, Pelayanannya harus menjaminn kepastian hukum; Pelayanannya harus tertib; Pelayanannya harus menjaga kepentingan umum; Pelayanannya harus dilakukan tanpa mengganggu keterbukaan informasi publik; pelayanan yang diberikan harus menjamin proporsionalitas; Pelayanannya harus dilaksankana dengan mengedepankan profesionalitas; Pelayanannya harus harus dilaksanankan dengan menjaga kuntabilitas; Pelayanan yang diberikan harus efisien; Pelayanannya harus dilakukan dengan cara yang efektif.

Sebagai bentuk implementasi sila pertama Pancasila, maka peran nilai-nilai ajaran agama menjadi sangat penting juga dipedomani seorang Penyelenggara Pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawabnya. Penyelenggara Pemilihan harus bertindak sesuai kode etik, jika tidak maka penyelenggara pemilihan akan mendapat ganjaran yang setimpal, hal ini sesuai kepercayaan agama Hindu bahwa percaya dengan adanya hukum karma phala. Dengan demikian maka penyelenggara harus melaksakan kewajibannya dengan baik.

Seperti misalanya dalam Kitab Bagawad Gita dituliskan sebagai berikut: Bhagavad-gita 3.8 Lakukanlah tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, sebab melakukan hal demikian lebih baik dari pada tidak bekerja, seseorang bahkan tidak dapat memelihara badan jasmani tanpa bekerja.

Bhagavad-gita 3.9 Pekerjaan yang dilakukan sebagai korban suci untuk Visnu harus dilakukan, kalau tidak, pekerjaan akan mengakibatkan ikatan di dunia material ini. Karena itu lakukanlah tugas-kewajibanmu yang telah ditetapkan guna memuaskan Beliau, Wahai putera Kunti. Dengan cara demikian, engkau akan selalu tetap bebas dari ikatan. Jika memperhatikan kedua sloka tersebut di atas, maka seorang Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawabnya sendiri, bukan melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawab yang lain, intinya adalah bekerja secara profesional. Seorang Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, wewenang, kewajiban, serta memikul tanggung jawabnya harus iklas, dan lakukan semua itu sebagai persembahan kepada Tuhan. Karena semua manusia adalah ciptaan Tuhan, maka penyelenggara pemilihan wajib melayani semua stake holder pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun), sehingga terpenuhinya rasa keadilan.

C. Simpulan

Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Penyelenggaraan Pemilihan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, merupakan sebuah proses yang memiliki tujuan menghargai perbedaan, dengan demikian kebhinekaan tetap dapat terjaga.

2.    Kebhinekaan dalam pemilihan kepala daerah serentak ini akan dapat diwujudkan apabila penyelenggara pemilihan mematuhi kode etik penyelenggara pemilihan, sehingga dapat dipastikan penyelenggara pemilihan dapat melaksanakan pemilihan secara jujur dan adil, untuk menjamin hak peserta pemilihan dan stake holder pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun).

3.    Semua stake holder pemilihan (tidak peduli dari suku, agama, ras, maupun golongan apapun) wajib mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Oleh : I Wayan Jondra (Komisioner KPU Provinsi Bali)


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER