Usia Pengurus LPD Dibatasi Maksimal 60 Tahun

  • 20 Februari 2017
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 4169 Pengunjung
suaradewata.com

Denpasar, suaradewata.com - Panitia Khusus (Pansus) Ranperda Lembaga Perkreditan Desa (LPD) DPRD Provinsi Bali kembali menggelar rapat dengan eksekutif, di Ruang Baleg DPRD Provinsi Bali, Senin (20/2). Rapat ini dalam rangka menyempurnakan Ranperda LPD sebelum ditetapkan menjadi Perda, yang dijadwalkan akan dilakukan pada awal Maret mendatang. Rapat dimaksud juga dilakukan setelah Pansus melakukan sosialisasi ke lima kabupaten/ kota di Bali.

Dalam rapat kali ini, Karo Hukum Setda Provinsi Bali I Wayan Sugiada, memaparkan sejumlah poin penting yang sudah diakomodir dalam Ranperda LPD. Di antaranya terkait pengaturan batas usia pengurus, perlindungan dana nasabah, pembatasan operasional LPD, wajib audit, hingga istilah-istilah dalam bahasa Bali.

Sementara Ketua Pansus Ranperda LPD DPRD Provinsi Bali I Nyoman Parta, mengatakan, usia pengurus LPD dibatasi maksimal 60 tahun. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 5, Ranperda LPD. Selanjutnya, pengganti ketua LPD nantinya harus memiliki sertifikasi kompetensi calon kepala LPD.

"Nanti lembaganya yang mengeluarkan itu, apa LP LPD bekerjasama dengan kampus, atau seperti apa, itu masih dirumuskan secara teknis,” beber politisi PDIP asal Gianyar ini.

Parta menambahkan, hampir semua bendesa adat di 5 kabupaten/ kota yang sudah didatangi Pansus untuk sosialisasi Ranperda LPD, mengusulkan adanya audit. Sebab, audit sudah menjadi standar dan menjadi sebuah keharusan bagi lembaga apapun yang melaksanakan kegiatan keuangan.

“Pertama yang melakukan adalah pengawas, yaitu bendesa. Yang kedua adalah LP LPD. Yang ketiga bisa juga memanfaatkan jasa auditor,” tandas Parta, yang juga Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali.

Terkait LPD yang bangkrut, demikian Parta, para bendesa bersangkutan sangat menginginkan agar LPD tersebut dibangkitkan kembali. Namun para bendesa membutuhkan dana stimulan. Menurut Parta, salah satu yang sangat mungkin dilakukan adalah, dengan memberikan dana lewat bantuan keuangan khusus desa adat yang selama ini telah diberikan masing-masing Rp 200 juta.

"Artinya Rp 200 juta yang selama ini sudah dibagi untuk kegiatan pasraman, operasional prajuru dan lain-lain, kan ada sisa Rp 165 juta. Mungkin tidak Rp 165 juta itu bisa dimanfaatkan berapa untuk modal? Cuma, aturannya memungkinkan atau tidak? Prinsipnya, ya nanti eksekutif harus mencari solusinya,” ujar Parta.

Ia menyebut, pembentukan LPD baru juga harus dibantu permodalannya. Selama ini, desa adat yang belum membuat LPD rata-rata karena potensinya kecil. Oleh karena itu, desa adat harus bekerjasama dengan LPD lain dan diberikan bantuan modal. Namun, pihaknya belum menentukan besaran modal yang bisa diberikan kepada LPD baru.

Hal lain yang muncul dalam Ranperda LPD, adalah menyangkut lembaga penyangga likuiditas. "Pertama, menyangkut tentang kelebihan dan kekurangan anggaran. Di satu sisi kelebihan anggaran di LPD A dan kekurangan anggaran di LPD B, ini mereka dimungkinkan untuk membuat kerjasama. Yang kedua tentang penjamin simpanan. Jadi, karena banyak uang tiba-tiba ada masalah LPD-nya biar tidak merugikan nasabah,” urainya.

Lantaran memandang penting penjamin simpanan, Parta mengaku masih merumuskan siapa yang akan melakukan fungsi itu. "Ini yang masih dikaji secara mendalam," pungkas Parta. san/adi/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER