Unik dan Seru, Tradisi Mejuryag Tipat Saat Nangluk Merana di Sekardadi

  • 15 Januari 2017
  • 00:00 WITA
  • Bangli
  • Dibaca: 4236 Pengunjung
suaradewata

Bangli, suaradewata.com – Selain terkenal dengan keindahan alamnya, Pulau Dewata Bali banyak menyimpan tradisi yang unik dan menarik. Salah satunya, tradisi mejuryag tipat yang dilaksanakan di desa pakraman Sekardadi, Kintamani, Bangli. Tradisi ini, dilaksanakan serangkaian ritual nangluk merana. Dalam tradisi ini, keseruan terjadi saat ratusan tipat atau ketupat diperebutkan puluhan anak-anak desa setempat.  

Menurut Bendesa Adat Pekraman Sekardadi Nengah Madriya, ritual nangluk merana merupakan ritual turun temurun yang dilaksanakan setiap tahun sekali oleh warga desa adat setempat, tepatnya pada saat Tilem Sasih Keenem. Hanya saja, karena saat itu ada kecuntakaan, pelaksanaan nangluk merana di undur, Minggu (15/01/2017). “Nangluk merana kita gelar, untuk menetralisir alam semesta dari pengaruh negative agar terhindar dari marabahaya,” tegasnya.

Dijelaskan, dalam ritual tersebut menggunakan sarana hewan kurban berupa seekor sapi dan babi. Pelaksanaan upacaranya sendiri, kata Madriya, berlangsung di dua tempat. Upacara pertama dilaksanakan di mangkalan(perbatasan) antara Desa Sekardadi dengan wilayah Banjar  Penyebeh, Desa Pengotan dengan menggunakan sarana sapi. Sedangkan lokasi kedua, digelar di perempatan Desa Sekardadi dengan menggunakan sarana daging babi. “Dikedua tempatnya itu, prosesinya sama dan juga dilaksanakan mejuryag tipat. Hanya saja, hewan kurban yang dipersembahkan berbeda,” sebutnya.

Karena itu, sebelum upacara nangluk merana dimulai, ratusan warga setempat sejak pagi-pagi sudah mebat, mengolah babi dan sapi tersebut untuk dibuatkan sarana sesajen dan cacaran (malang) yang nantinya akan dibagikan kepada desa pengarep. Setelah itu barulah prosesi nangluk merana dimulai dengan dipuput oleh peduluan. Ditegaskan kembali, nangluk merana bertujuan untuk menetralisir pengaruh negative alam semesta beserta isinya agar terhindar dari malapetaka yang dapat berakibat buruk pada pertanian dan masyarakat secara umum. “Ritual ini merupakan warisan turun temurun. Jika tidak dilaksanakan, warga kami meyakini bisa mendatangkan malapetaka dan lahan pertanian bisa diserang berbagai hama ganas,” tegasnya.

Meski demikian, saat itu ada yang menarik dan seru mewarnai ritual tersebut. Dimana, puluhan anak-anak melakukan tradisi mejuryag tipat. Dalam tradisi ini, sedikitnya ada ratusan ketupat yang  telah ditempatkan dalam sebuah tegenan untuk diperebutkan“Mejuryag tipat dilakukan setelah peduluan usai muput upacara. Pesertanya, sesuai warisan turun temurun yang kami terima adalah anak-anak yang usianya hingga 10 tahun,’’ terang Madriya.

Dijelaskan juga, ratusan tipat tersebut merupakan urunan atau pesuan dari masing-masing warga pengarep yang berjumlah sebanyak 104 KK. “Masing-masing warga pengarep ini yang membawa pesuan masing-masing sebanyak satu kelan atau enam biji,” jelasnya. Selanjutnya, dengan dikomando oleh salah satu prajuru, anak-anak yang telah menunggu sejak awal upacara, langsung menyerbu untuk berebut mendapatkan ketupat tersebut. Karena banyaknya ketupat yang disediakan, masing-masing anak bisa mendapatkan belasan hingga puluhan ketupat.

Sebaliknya, bagi yang apes karena kalah tenaga untuk berebut, hanya mampu mendapatkan ketupat seadanya. Nantinya ketupat hasil rebutan tersebut, ada yang langsung dimakan bersama warga dan sebagian ada yang membawanya pulang.

“Untuk prosesi mejuryag tipat ini, melambangan butakala dan dedemit yang sedang berebut lelabaan, dengan harapan tidak lagi menggangu warga kami,” tegasnyaSelain itu, lanjut Madriya, mejuryag tipat ini juga bisa diartikan sebagai bentuk kegembiraan dan sukacita warga setelah sukses melaksanakan upacara tersebut, dengan harapan bisa mendapatkan berkah keselamatan dan kemakmuran sekaligus untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan antar warga.ard/aga


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER