Bukti Bahwa Demo Ahok Telah di Politisir

  • 23 November 2016
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 5297 Pengunjung
istimewa
Opini, suaradewata.com - Terhitung dari tanggal 14 Oktober hingga detik ini, aksi demo terkait isu dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama atau yang dikenal dengan Ahok masih menyisakan lembar baru. Apabila diikuti dengan seksama mulai dari aksi demo jilid I, jilid II, hingga rencana aksi demo lanjutan yakni jilid III pada 25 November mendatang, sangat disayangkan apabila aksi demo tersebut telah berubah arah dan tujuan.
 
Tidak membenarkan statemen Presiden Jokowi mengenai adanya keterlibatan tokoh kepentingan politik di aksi demo bela Islam, tidak juga menyalahkan statemen yang di kontra oleh mantan Presiden keenam tersebut. Jika diamati dari jilid per jilid, aksi demo yang di komandoi oleh beberapa organisasi massa yang “katanya” berbasis Islam perlahan telah menunjukan jati dirinya.
 
Aksi Demo Jilid I
 
Penyelenggaraan aksi demo bela Islam jilid I merupakan buah hasil dari unggahan video youtube oleh Buni Yani yang berisikan tentang dugaan penistaan agama oleh Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51, saat safari kerjanya ke Kepulauan Seribu (6/10). Alhasil, unggahan video tersebut menjadi trend topik nasional hingga berujung kepada aksi demo bela Islam jilid I, dengan tema “Tangkap dan Adili Ahok”.
 
 
Hal yang wajar apabila beberapa kelompok dan organisasi massa yang berlandaskan Islam melakukan tuntutan ke aparat kepolisian untuk segera memeriksa Ahok, karena telah menyinggung “Surat Al-Maidah ayat 51” dalam pembicaraannya bersama warga Kepulauan Seribu dianggap telah menyinggung agama Islam.
 
 
Aksi Demo Jilid II 
 
Berbeda dengan membalikkan telapak tangan, tuntutan kelompok dan ormas Islam ke Polri untuk segera menangani kasus Ahok dinilai memang perlu waktu untuk menyelenggarakan proses penyelidikan hingga membuktikan kebenaran kasus penistaan agama oleh Ahok. Oleh karena itu, merasa resah dan kurang puas dengan proses hukum yang berjalan, para penuntut Ahok akhirnya melanjutkan aksi bela Islam ke demo jilid II dengan tema “Menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menuntut Polisi untuk menjalankan Proses Hukum”.
 
Namun setelah diamati, penyelenggaraan aksi demo bela Islam jilid II yang diselenggarakan pada 4 November kemarin, menuai banyak respon dari beberapa kelompok kepentingan. Hal ini dapat dilihat mulai dari safari kerja Presiden Jokowi menemui Prabowo dan Alim Ulama dalam rangka meredusir hangatnya petaka isu SARA, hingga respon yang paling sensasional dan responsif yakni digelarnya konferensi pers oleh mantan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono sebelum pelaksanaan demo (2/11). 
 
Meskipun Kapolri Tito Karnavian telah berjanji akan menjalankan proses hukum selama dua minggu setelah aksi 4 November, namun mayoritas massa yang terlibat pada aksi 4 November kemarin, merasa kurang puas dan menimbulkan kekecewaan. Hal ini dikarenakan adanya alasan dan prioritas lain Presiden Jokowi sehingga Beliau berhalangan hadir menemui para demonstran secara langsung.
 
Aksi Demo Jilid III
 
Alhasil, Habib Rizieq yang merupakan salah satu pimpinan Front Pembela Islam (FPI) mengancam sekaligus mencetuskan bahwa akan menyelenggarakan aksi demo lanjutan pada tanggal 25 November 2016 dengan tema “Lengserkan Jokowi Jika Ahok Bebas” dengan massa yang lebih besar.
 
Terdapat kejanggalan jika para pembaca mengamati jilid per jilid demo yang dinahkodai oleh beberapa kelompok dan ormas agama ini. Ahok yang semula target awal demo ternyata hanya digunakan sebagai cover kelompok kepentingan untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal jelas dan tegas bahwa Presiden Jokowi tidak salah dalam posisinya. Bahkan dengan lugas menyatakan bahwa dirinya selaku Kepala Negara tidak akan pernah melindungi Ahok sekalipun.
 
Sudah seharusnya masyarakat berpikir cerdas dan mencermati perubahan tema dan tujuan aksi demo bela Islam. Tatkala demo yang dilaksanakan dan murni bertujuan berperang demi agama, berubah dan memiliki kecenderungan untuk dimanfaatkan mendukung kepentingan segelintir kelompok yang haus akan kekuasaan.
 
Tidak melarang, tidak juga mendukung, tidak perlu mencari kambing hitam tentang siapa yang benar dan salah dari kasus ini. Cukup dengan cara memonitor dan mengawasi proses hukum yang berjalan sesuai laporan dari para pelapor, dirasa menjadi solusi konkrit yang dapat dilakukan.
 
Biarkan aparat penegak hukum menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan landasan yuridis yang ada, karena proses hukum yang baik adalah proses hukum yang independen, proses hukum yang jauh akan intervensi dan intimidasi.
 
 
)* Mahasiswa Jurusan FISIP di Universitas Indonesia

TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER