Warga Desa Pakraman Selulung Gelar Tradisi “Nunas Sapi Duwe”

  • 04 September 2016
  • 00:00 WITA
  • Bangli
  • Dibaca: 7102 Pengunjung
suaradewata

Bangli, Suaradewata.com – Berbagai tradisi unik dan menarik dapat ditemui di Kabupaten Bangli. Salah satunya, tradisi “nunas wadak” di desa Pakraman Selulung, Kintamani, Bangli. Menariknya, prosesi ini melibatkan seluruh warga dari 17 banjar yang ada di desa Pakraman Selulung, untuk mencari  dan berupaya menangkap wadak atau “sapi duwe” yang telah dilepas ke alam bebas.

Sesuai pantauan di lokasi, Sabtu (03/09/2016), lantaran  sapi-sapi ini telah dilepas ke alam bebas sejak kecil, menyebabkan  adegan penangkapan sapi duwe ini terbilang berbahaya.

Untuk menaklukan satu ekor sapi yang rata-rata bobotnya telah mencapai setengah ton lebih ini,  diperlukan setidknya puluhan orang bahkan sampai ratusan orang.

Prosesi penangkapan sapi ini, dilakukan dengan cara menjerat dengan tali untuk kemudian digiring menuju lapangan desa setempat secara beramai-ramai. Sorak sorai mewarnai tradisi tersebut, saat sapi-sapi ini berupaya berontak dari jeratan tali warga. 

Jro Made Yada salah satu Prajuru Adat Desa Pakraman Selulung menyatakan sapi  yang ditangkap ini  adalah sapi duwe atau yang dikenal warga dengan sebutan wadak.

Diceritakan, awal keberadaan sapi duwe itu terkait dengan ritual bayar sesangi atau bayar kaul yang dilakukan warga. Dimana sapi tersebut telah melalui prosesi upacara tertentu dan telah dihaturkan di salah satu Pura di Desa Pakraman Selulung.

“Karena itu, selama berada dialam bebas tidak ada satupan warga yang berani mengusik keberadaan wadak tersebut,” ungkapnya.

Nah, seiring berjalannya waktu, keberadaan sapi duwe itu terus bertambah yang diperkirakan jumlahnya kini telah mencapai lebih dari 50-an ekor. Oleh karena itu, dalam prosesi penangkapan juga dilakukan tidak sembarangan.

“Proses penangkapan dilakukan jika sudah melalui putusan desa adat dengan terlebih dahulu menggelar ritual mepiuning untuk nunas atau memohon ijin secara niskala,” ungkapnya.

Karena itu, tradisi ini hanya berlangsung sewaktu-waktu saja. Kali terakhir tradisi ini pernah dilakukan, sekitar empat tahun lalu. “Untuk nunas wadak ini, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus melaui putusan paruman adat dan sebelum dilakukan penangkapan juga didahului dengan menggelar ritual mepiuning untuk mohon ijin secara niskala,” jelasnya.  

Selain itu, kata dia, nunas sapi duwe  ini tidak boleh untuk keseluruhan wadak. “Sapi yang akan ditunas itu, harus tetap disisakan minimal sebanyak 13 ekor sesuai jumlah pura yang oleh warga kami sungsung selama ini. Itu sudah menjadi warisan turun temurun,” jelasnya.

Selanjutnya, sesuai putusan adat puluhan sapi yang telah berhasil ditangkap tersebut, nantinya akan dijual dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk pembangunan Pura guna meringankan beban masyarakat. ard/hai


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER