Marchingband Pengganti Tabuh Iringi Upacara Ngenteg Linggih

  • 23 Maret 2016
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 3236 Pengunjung
suaradewata.com

Buleleng, suaradewata.comUpacara adat “Ngenteg Linggih” yang biasanya diiringi oleh music tradisional, kini tampak menjadi berbeda di sebuah tempat suci yang terletak di dekat kediaman I Made Gina, Desa Anturan, Kecamatan Buleleng. Pasalnya, tetabuhan tersebut berganti menjadi Marchingband.

“Memang sudah berlangsung sejak dulu karena ada sebuah pelinggih yang erat kaitannya dengan perjuangan para Pejuang melawan Belanda saat jaman kolonial,” ujar Jro Ketut Wibawa Putra selaku pengempon pura (Pengurus tempat suci umat Hindu di Bali), Rabu (23/3).

Pelinggih atau sejenis tempat khusus dan dikeramatkan tersebut bernama Pelinggih Cakra Geni ang beradadi pekarangan rumah milik I Made Gina. Proses upacara adat pun bukan sebatas diikuti oleh keluarga sang pemilik pekarangan melainkan turut dihadiri oleh sejumlah Veteran Perang jaman Kolonial Belanda.

Pada umumnya, pelinggih yang ada di Bali dihiasi oleh sejumlah atribut umum untuk kebutuhan upacara. Namun, khusus pada pelinggih Cakra Geni terdapat sepasang bendera merah putih dan sebuah lambing Garuda Pancasila.

Menurut keterangan Wibawa, pelinggih yang telah ada sejak zaman kolonial ini baru saja dipugar setahun lalu. Di pelinggih itu bersamayam Ida Betara atau Dewa Bagus Cakra Geni dan Dewa Ayu Cakra Geni.

Sejumlah cerita yang kemudian diyakini kebenarannya kemudian menyebutkan, tempat dimana pelinggih tersebut berada digunakan oleh para pejuang yang bergerilya melawan penjajah Belanda hingga kekuasaan Jepang. Areal di pelinggih Cakra Geni digunakan sebagai tempat berlindung saat berjuang melawan penjajah.

“Ketika para pejuang berlindung di pelinggih Cakra Geni, para tentara Belanda yang lewat tidak mampu melihat keberadaan para pejuang. Sedangkan para Pejuang bisa melihat keberadaan tentara Belanda yang lewat dan sempat beristirahat di dekat areal pelinggih,” kata Wibawa.

Menurut Wibawa, pemugaran yang dilakukan dan dimulai setahun lalu merupakan bentuk inisiatif terkait keberadaannya yang sempat tidak terawat. Saat Jro Wibawa menempuh pendidikan strata dua di sebuah perguruan tinggi di Texas, Amerika Serikat, ia sempat menderita sakit dengan tumbuhnya benjolan di bagian dadanya. Dokter menyarankan pulang, dan sesampainya di rumah, ia mendapatkan pawisik untuk memugar pelinggih tersebut.

Setelah dilakukan pemugaran, ia pun mengaku berangsur sembuh dari penyakit tersebut. Terlebih, lanjutnya, pelinggih Cakra Geni tersebut nyaris sempat akan dipindah ke lokasi lain.

Terkait dengan musik Marchingband yang digunakan sebagai pengiring upacara, Wibawa menyebut hal tersebut terkait dengan sebuah wahyu atau dalam masyarakat Bali dikenal dengan “Pawisik” yang diterima oleh salah seorang veteran.

“Ketika itu beliau yang memberi pawisik marah. Beliau (Yang berstana di Pelinggih Cakra Geni) yang selama ini tidak dihiraukan keberadaannya, diterlantarkan, atau mungkin ada janji yang tidak dipenuhi, murka karena tidak ada yang menghargai anugrah kemerdekaan Bali dan Indonesia yang telah diperjuangkan dengan darah serta jiwa raga. Bukan pamrih, beliau hanya ingin kemerdekaan dihargai,” jelasnya.

Seorang pejuang berlogat Bali Selatan sempat memberikan pawisik kepadanya agar saat upaca ngenteg linggih supaya mendatangkan para veteran. Sedangkan iringan tetabuhan drumband karena musik itu identik dengan perjuangan tentara. adi


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER