Cegah Terorisme, Melalui Revisi UU Terorisme

  • 07 Maret 2016
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 5176 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Globalisasi yang tidak dibendung membawa sejumlah dampak bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara strategis, Indonesia dijadikan destinasi penyebaran berbagai pemikiran dunia, termasuk pemikiran radikal. Salah satu pemikiran radikal yang menyasar masyarakat Indonesia adalah radikal agama, yang pada akhirnya melahirkan benih-benih terorisme.

Definisi Teror sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah semua usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, terorisme dapat diartikan sebagai paham radikal yang bertujuan menciptakan ketakutan di masyarakat dengan menggunakan kekerasan.

Berdasarkan catatan sejarah, terorisme sudah lama muncul di dunia, bahkan sebelum perang dunia kedua. Akan tetapi istilah terorisme mulai populer di kalangan masyarakat pasca peristiwa pembajakan pesawat komersial Amerika yang akhirnya menabrak World Trace Center (WTC) pada 11 September 2011. Di Indonesia, kasus terorisme terjadi sejak 1981 dimana terjadi pembajakan terhadap pesawat Garuda Indonesia. Beberapa kasus terorisme lain di Indonesia antara lain bom di Candi Borobudur (1985), bom di Kedubes Filiphina, Malaysia dan Bursa Efek Jakarta (2000), bom Bali (2002), bom JW Marriot (2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Ritz-Carlton dan JW Marriot (2009), bom di Cirebon dan Solo (2011), bom di Polres Poso (2013), serta yang terbaru adalah bom dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah, Jalan M.H Thamrin, Jakarta pada 14 Januari 2016 silam.

Maraknya aksi terorisme di Indonesia semakin terlihat,terlebih dengan adanya ancaman teror yang dilontarkan oleh kelompok esktrimis Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang ditujukan kepada instansi keamanan di Indonesia seperti kepolisian dan TNI. Bahkan terakhir, kelompok ISIS juga mengancam akan meracuni polisi dengan sianida.

Adanya ancaman kelompok terorisme yang menyasar ke Indonesia bukanlah hal yang baru. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut agama Islam, sehingga menarik bagi kelompok terorisme yang kerap mengatasnamakan Islam sebagai pembenaran dalam setiap aksinya.

Untuk menangkal perkembangan benih-benih terorisme dan tindakan terorisme di Indonesia, pemerintah Indonesia telah merumuskan berbagai kebijakan, salah satunya kebijakan yang dituangkan dalam perundang-undangan, yakni dengan diterbitkannya Perppu nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, serta adanya Undang-Undang nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Seiring berjalannya waktu dan semakin masif nya ancaman terorisme, pemerintah mengusulkan merevisi undang-undang terorisme, sehingga mampu memberikan kekuatan lebih bagi aparat terkait guna mencegah dan mengurangi perkembangan terorisme di Indonesia. Akan tetapi, usulan pemerintah tersebut mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat, baik pro maupun kontra. Adanya ketidaksetujuan dari masyarakat pada umumnya disebabkan karena adanya kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang oleh aparat terkait.

Gagasan pemerintah untuk merevisi undang-undang terorisme sangat tepat, karena revisi ini dilaksanakan sebagai upaya melindungi warga negara Indonesia, mengingat maraknya ancaman dari kelompok teroris yang menyasar masyarakat Indonesia. Salah satu poin penting yang perlu ditambahkan dalam revisi undang-undang terorisme nantinya adalah terkait penangkapan dan penahanan pelaku teror. Selama ini ada beberapa lembaga dilibatkan dalam menangani masalah terorisme di Indonesia, yakni kepolisian (Densus 88), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), serta Tentara Nasional Indonesia. Meskipun demikian, wewenang penangkapan dan penahanan diberikan kepada kepolisian terkait tupoksi nya sebagai aparat penegak hukum. Melalui revisi undang-undang terorisme, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk memberikan wewenang penangkapan bagi badan-badan lain demi mempercepat proses pemutusan rantai terorisme. Tidak adanya wewenang penangkapan bagi BNPT maupun BIN selama ini membuat kedua lembaga tersebut harus berkoordinasi dengan kepolisian terlebih dahulu selaku eksekutor. Hal ini kemudian membuat waktu yang dibutuhkan lebih lama, dan dapat memberikan ruang waktu yang lebih luas bagi pelaku teror untuk melancarkan aksinya. Untuk itu, dalam rangka pencegahan, pemberian wewenang penangkapan bagi lembaga lain perlu dilakukan, untuk selanjutnya diproses secara hukum oleh kepolisian.

Adanya kekhawatiran penyalahgunaan wewenang yang dilontarkan sekolompok masyarakat cukup berasalan, namun perlu diingat bahwa pemerintah telah membentuk tim pengawas eksternal untuk mengawasi kinerja dari berbagai lembaga di pemerintahan, salah satunya adalah tim pengawas intelijen yang ditelah disahkan tanggal 26 Januari 2016. Dengan adanya kerja tim pengawas tersebut, maka masyarakat tidak perlu khawatir penyalahan wewenang penangkapan.

Penulis, Ikhsan harahap


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER