Menolak Revisi UU KPK!

  • 28 Februari 2016
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3081 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - REVISI Undang-Undangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini terus bergulir di DPR RI. Pro dan kontra atas rencana revisi pun tak terhindarkan. Bahkan penolakan dari berbagai elemen agar revisi UU KPK dibatalkan pun telah disuarakan, tapi hingga kini belum tahu arahnya.

Dalam hal penolakan, sampai hari ini baru satu fraksi di DPR RI yang dengan tegas menolaknya, yakni Fraksi Gerindra. Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (10/2) malam kemarin, Fraksi Gerindra menjadi satu-satunya fraksi yang menolak revisi UU KPK. Menurut anggota Fraksi Gerindra, Desmond J Mahesa, salah satu alasan utama Gerindra adalah kurang detailnya alasan dilakukannya revisi tersebut.

Desmond menjelaskan, harusnya pengusul bisa lebih detail soal alasan perubahan UU KPK, terutama dalam empat poin. Untuk poin kewenangan penyadapan, Gerindra menilai belum ada naskah akademik yang secara jelas menyebutkan, KPK melakukan penyalahgunaan dalam kewenangan penyadapan. Pada poin kewenangan penyadapan ini, KPK nantinya diharapkan bisa meminta izin terlebih dahulu dengan Dewan Pengawas.

Kemudian terkait pemberian wewnang bagi KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Desmond menilai, harus ada kategorisasi yang jelas terkait hal ini. Penerbitan SP3 ini harus didukung penetapan dari bukti-bukti hukum yang ada. Jangan nantinya, ujar Desmond, SP3 ini menjadi semacam alat ATM dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu seperti yang terjadi di lembaga penegak hukum lainnya.

Apakah ini upaya untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Para aktivis antikorupsi menganggap bahwa revisi UU KPK adalah upaya nyata untuk melumpuhkan KPK. Menolak revisi UU KPK, tokoh-tokoh di Yogya yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Yogyakarta berkumpul dalam aksi 'Jogja Grumegah Tolak Revisi UU KPK' di kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Ditiro, Yogyakarta, Minggu (14/2/2016).

Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Direktur PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar, budayawan ST Sunardi, Sosiolog UGM Susetiawan, perwakilan PWNU DIY Purwo Santoso, perwakilan Muhammadiyah, KAHMI DIY, organisasi difabel, advokat, perempuan antikorupsi, LSM, agamawan, dan mahasiswa di Yogya mendeklarasikan menolak revisi UU KPK.

Mereka juga membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan untuk menolak revisi UU KPK. Sejumlah tuntutan yang diajukan yakni; seluruh fraksi di DPR agar membatalkan rencana pembahasan revisi UU KPK di sidang paripurna DPR, Presiden Joko Widodo agar menolak membahas revisi UU KPK bersama dengan DPR (tidak mengeluarkan Surat Presiden) dan menariknya dalam prolegnas 2015-2016.

Presiden diminta mewaspadai manuver dan operasi senyap yang dilakukan di lingkungan terdekatnya, khususnya yang memiliki ambisi menguasai sektor ekonomi dan politik dengan mendorong pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Masyarakat harus menghukum partai-partai politik pendukung revisi UU KPK dengan cara tidak memilih kandidat yang diusung partai tersebut dalam Pilkada serentak 2017.

Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan aksi ini sebagai wujud komitmen masyarakat madani di DIY untuk tetap digaris depan melakukan perlawanan ilegal yang dilakukan secara sistemik oleh kekuatan koruptor melalui revisi UU KPK yang sudah berkali-kali diajukan.

18 kali upaya dari kalangan anti reformasi mencoba melemahkan KPK lewat revisi melalui judicial review. Itu semua kandas karena dilawan masyarakat sipil yang tanpa pamrih, kata Busyro di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Yogyakarta menyatakan ada 4 poin krusial draft revisi UU KPK yang dapat melumpuhkan KPK. Pertama, dibentuknya dewan pengawas yang memiliki sejumlah kewenangan yang dapat menghambat kinerja KPK misal penyadapan dan penyitaan yang harus seizin dewan pengawas. Kedua, terkait penyadapan. Selain harus seizin dewan pengawas, penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan.

Ketiga, dalam draft revisi UU KPK, KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK hanya boleh merekrut tenaga penyelidik dari kepolisian. Keempat, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (SP3).

Sarat Kepentingan

Revisi juga dianggap sarat kepentingan.   Pasalnya, di tengah kompleksnya tantangan pemberantasan korupsi, malah melihat adanya upaya-upaya pengurangan kewenangan bagi KPK, sehingga perlawanan balik koruptor masih saja terjadi. Kita tahu, sudah ada empat kali itu perlawanan balik koruptor.

Abdul Fickar mencontohkan beberapa kasus yang dianggapnya sebagai contoh perlawanan balik koruptor dan usaha pelemahan terhadap KPK yang pernah terjadi, seperti melalui upaya hukum seperti judicial review ke Mahkamah Konstitusi, tuntutan praperadilan maupun gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri.

Ahli hukum itu mengatakan, sebelumnya juga terjadi perebutan kewenangan antara KPK dan Kepolisian dalam penanganan kasus Anggodo dan Djoko Susilo yang berujung pada kriminalisasi KPK. 

Namun, menurutnya, upaya pelemahan KPK telah menunjukkan hasil ironis. Fickar memandang adakalanya, setelah terjadi upaya pelemahan, justru kinerja KPK terlihat semakin signifikan. 

Hal tersebut, kata dia masuk akal, sebab hambatan bisa membuat institusi KPK semakin solid. Namun, di sisi lain, dukungan masyarakat terhadap KPK membuat lembaga antirasuah itu juga makin percaya diri melakukan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi.

 

Padahal masyarakat tahu sendiri, KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggungjawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Menurut penulis, revisi UU KPK ini tak hayal bakal meluluhlantakkan keperkasaan KPK yang selama ini sudah dikatakan berhasil menekan angka korupsi di Tanah Air. Ini terbukti dengan banyaknya pelaku korupsi masuk kerangkeng, dan uang negara pun terselamatkan.

Lalu pertanyaannya, apakah selama ini mereka (petinggi negara, red) gerah akan sepak terjang lembaga anti rasuah ini? Sehingga beberapa kali KPK digoyang dengan diusungnya draf revisi KPK yang pada hakikatnya melemahkaan kinerja KPK.

Tentunya kita sudah mengetahui, hingga hari ini KPK terus melanjutkan beberapa kasus besar yang melibatkan petinggi negara, maupun mantan petinggi negara di republik ini. Bak cacing kepanasan, mereka ‘berteriak’ bahwasanya KPK tidak diperlukan lagi, karena sudah ada dua lembaga yang bisa menggantikan peran lembaga anti rasuah tersebut. 

Tapi apa lacur, usulan draf revisi UU KPK kini sudah di ‘meja’ DPR. Keberadaan atau keberlangsungan KPK perlu dipertahankan dalam semangat memberantas korupsi nampaknya akan tergerus oleh kesepakatan politik fraksi-fraksi di Senayan.

Kita hanya berharap, kewenangan KPK tidak dipangkas, melainkan memberikan kekuatan penuh agar pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga anti rasuah terus berjalan seperti sekarang ini. Kepada pemerintah dan DPR, kita berharap agar lebih memikirkan kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan tertentu. Alangkah baiknya dibatalkan sehingga tidak ada pikiran negatif terhadap kuatnya rencana revisi UU KPK. ***

Amril Jambak, Founder Forum Diskusi Publik, dan peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER