Memupuk Toleransi Beragama

  • 09 Juli 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2712 Pengunjung

Opini, suaradewata.com -Di Indonesia, sejak zaman pra sejarah sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik imperialisme, dan misi agama. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk, hingga saat ini tidak kurang ada 6 agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran/sekte lainnya. Dalam kaitan ini, saat ini kerukunan umat beragama masih menjadi isu strategis untuk menunjang ketahanan nasional dan juga menyamakan persepsi serta memperkuat pemahaman tentang wawasan kebangsaan. Kerukunan umat beragama menjadi begitu penting untuk mencapai kesejahteraan hidup di wilayah NKRI, yang jamak diketahui beragam adat istiadat dan budaya begitu juga dengan agama. Perbedaan ini sangatlah beresiko pada kecenderungan konflik, terutama bagi pihak yang mencita-citakan terciptanya kekacauan di masyarakat. Untuk meminimalisir bentrokan kepentingan antar umat beragama, maka kebijakan pemerintah harus menyentuh pada pokok permasalahannya antara lain pendirian tempat ibadah, penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri dan tenaga asing bidang keagamaan. Meski pada tataran pelaksanaannya masih menyisakan masalah baru, sehingga harus terus ada evaluasi dan koreksi secara berkelanjutan.

Kerukunan Beragama

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerukunan antar umat beragama serta kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Konsep ini diharapkan menjadi inspirasi untuk mewujudkan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Jangan sampai terjadi pengekangan atau pengurangan hak manusia dalam menjalankan kewajiban dan ajaran agama yang diyakininya. Tragedi Ambon, Halmahera, Poso, Palu, Sampit, Palangkaraya dan beberapa daerah lain merupakan bentuk disharmoni beberapa waktu yang lalu terjadi, tetapi juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi belaka ketika sesama anak bangsa sulit menciptakan kerukunan. Disadari atau tidak, konflik paling laten di NKRI selalu bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), utamanya konflik dikarenakan suku dan agama. Problemnya, konflik antar suku mungkin dapat diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antar agama sulit disembuhkan dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supra nasional.

Faktor Sosbud

Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia juga ditandai oleh berbagai faktor sosial dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan para pemeluk agama, perbedaan tingkat sosial ekonomi para pemeluk agama, perbedaan latar belakang budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal. Kerukunan umat beragama akan terbangun dan terpelihara dengan baik apabila jurang pemisah dalam bidang sosial dan budaya dapat dipersempit. Sebaliknya, kerukunan umat beragama akan rentan dan terganggu apabila jurang pemisah antar kelompok agama dalam aspek-aspek sosial dan budaya tersebut semakin lebar, termasuk jurang-jurang pemisah sosial baru yang akan muncul akibat krisis moneter global saat ini. Konflik-konflik yang pernah terjadi bermula dari murni konflik tentang kesenjangan ekonomi atau politik, kemudian bergeser dengan cepat menjadi konflik antara pemeluk agama. Oleh karena itu, pemeliharaan kerukunan umat beragama bukan hanya menjadi tanggungjawab para pejabat pemerintah dan pemuka agama, melainkan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan umat beragama, tidak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial, budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu sendiri.

Masyarakat Multikultur

Dalam konsep masyarakat multikultural, pluralisme masyarakat hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan kemajemukan dalam masyarakat itu. Setidaknya ada beberapa syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, adanya pluralisme masyarakat, adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama, adanya kebanggaan terhadap pluralisme itu. Karena itu ada empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia, sehingga kerukunan dan keharmonisan hidup seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai tersebut dipegang teguh secara konsekuen oleh masing-masing warga negara.

Pluralisme

Penerimaan pluralisme ini tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa yang majemuk dari semua sisi ke-SARA-nya saja, sebab jika ini yang menjadi pijakan, maka sesungguhnya kita berangkat dari fakta sosial yang terpecah-pecah. Oleh karenanya dibutuhkan pemahaman pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan. Yakni, secara teologis, seringkali diajarkan pada kita untuk memperkuat keimanan dengan segala pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan atau pemahaman agama menjadi sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan atau pemahaman agama ini harus melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik atau pengikut yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial. Akhirnya dalam spirit kesatuan, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya.

“Pluralisme dan kemanusiaan tetap harus menjadi komitmen dan sikap yang dibangun oleh setiap individu dalam beragama.”

Fajri Permana

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER