Berpolitik Tanpa Bermusuhan, Belajar Memaafkan dari Bapak Bangsa
Rabu, 16 Desember 2015
00:00 WITA
Nasional
3235 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Beberapa hari yang lalu, Pilkada serentak di 264 kabupaten/kota baru saja selesai dilaksanakan. Hajatan demokrasi terbesar yang sebelumnya dikhawatirkan sarat konflik dan rawan gesekan antar pendukung, ternyata berjalan aman dan lancar. Meski ada 5 daerah kabupaten/kota yang akhirnya harus menunda Pilkada karena beberapa alasan, secara umum hal tersebut relatif tidak merusak kekhidmatan pesta demokrasi ini. Terciptanya suasana yang kondusif tersebut merupakan cermin masyarakat Indonesia yang memasuki fase matang dalam berdemokrasi.
Saat ini, Pilkada tengah memasuki fase penghitungan suara. Setiap pihak yang sebelumnya berseteru memperebutkan kursi kepala dan wakil kepala daerah diharapkan memiliki jiwa besar untuk menerima kemenangan dan kekalahannya. “Menang jangan jemawa, kalah jangan ngamuk” begitu kira-kira himbauan Presiden Jokowi yang disampaikan menjelang pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2015. Selain itu, beliau menambahkan bahwa perselisihan yang menyangkut hasil Pilkada dapat diselesaikan secara demokratis, damai dan dewasa, serta sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Perselisihan merupakan hal yang lumrah terjadi dalam sehari-hari bahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tidak jarang, konflik tersebut memicu terganggunya keharmonisan yang berdampak pada produktivitas. Oleh sebab itu, tulisan ini berupaya merefleksikan jiwa besar yang harus dimiliki oleh setiap peserta Pilkada dengan meneladani sikap para bapak bangsa dalam menyikapi perselisihan.
Dalam buku Demokrasi Kita yang ditulis oleh Wakil Presiden Pertama RI, Mohammad Hatta, menjelaskan alasan kemundurannya dari kursi Wakil Presiden sekaligus kedwitunggalannya dengan Soekarno tahun 1956. Menurut Hatta, hal itu dilakukan akibat banyaknya konflik yang tidak dapat dijembatani, sementara persoalan prinsipil dalam penyelenggaraan negara semakin sering terjadi dan terakumulasi.
Dan tentu saja, ada kisah menarik dibalik perselisihan kedua tokoh bangsa tersebut. Seberapapun kerasnya mereka saling mengkritik satu sama lain dalam hal penyelenggaraan negara, mereka tetap menjaga persahabatan. Pada tahun 1963, Hatta terserang stroke dan Soekarno menjenguk Hatta yang terbaring di rumah sakit. Dalam kunjungannya tersebut, Soekarno mendesak Hatta berobat ke Swedia dalam rangka mencari pengobatan yang terbaik bagi kesembuhannya. Dan kemudian, akhirnya Hatta menerima saran dari sahabatnya itu.
Setelah Hatta mundur dari wakil presiden, beberapa orang yang pro Soekarno berupaya menghapuskan nama Hatta dari teks proklamasi. Namun dengan tegas Soekarno menuding bahwa upaya tersebut merupakan langkah pengecut.
Bagi Hatta, jasa-jasa Soekarno dalam merebut kemerdekaan tidak dapat dilupakan. Dan Hatta menggenapi ucapannya dengan menjenguk Soekarno yang terbaring sakit di RSUD Gatot Soebroto, dua hari sebelum tokoh proklamator tersebut tutup usia.
Menurut putri Bung Hatta, Meutia Hatta dalam bukunya berjudul “Bung Hatta : Pribadinya dalam kenangan” mengutarakan bahwa perselisihan antara Soekarno dan Mohammad Hatta hanya dapat dipahami oleh mereka sendiri, sehingga banyak orang yang tidak mengenal sosok Soekarno-Hatta kemungkinan akan mengalami salah interpretasi. Dikisahkan lebih lanjut bahwa pertemuan singkat itu diselingi air mata dan nyaris tidak ada kata-kata yang terucap dari keduanya. Meutia menambahkan bahwa meski minim kata-kata, sesungguhnya kedua hati mereka sedang berbicara, mengenang suka duka selama zaman penjajahan puluhan tahun silam atau bahkan justru saling memafkan.
Kisah lain tentang kebesaran bapak bangsa lainnya berasal dari Buya Hamka, seorang ulama besar yang pernah menjabat sebagai ketua MUI. Pada masa orde lama berkuasa, Buya Hamka pernah mendekam ditahanan akibat kritiknya yang terlalu keras terhadap pemerintahan sehingga dianggap menggangu stabilitas keamanan. Tak hanya disitu, buku-buku hasil karyanya pun dilarang terbit oleh pemerintah. Namun dipihak lain, Soekarno sejatinya tetap menghormati keulamaan Buya Hamka, meski kedua tokoh ini memiliki pandangan politik yang berseberangan.
Setelah keluar dari penjara, Buya Hamka kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, Hamka mendapati bahwa zaman telah berubah, pemerintahan Soekarno berada di ujung tanduk. Di akhir hayatnya, Bung Karno menitipkan pesan kepada Hamka melalui ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo. Isi pesan tersebut “jika aku mati kelak, minta kesediaan Buya Hamka untuk menjadi Imam sholat jenazahku”.
Betapa terkejutnya Buya Hamka yang menerima pesan tersebut seiring kabar wafatnya sang proklamator. Dan tanpa berpikir panjang, Buya Hamka bergegas menuju Wisma Yoso, tempat jenazah bung Karno disemayamkan. Dan dapat ditebak, Buya Hamka memenuhi wasiat Bung Karno untuk menjadi Imam sholat jenazahnya meski banyak pihak yang menentang. Kebesaran hati dan keikhlasan hati Buya Hamka tersebut membuat suasana kian mengharukan.
Dan saat ditanya apakah Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno, Buya Hamka menjawab “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”
Di era orde baru, kebesaran seorang pemimpin dalam menyikapi perselisihan juga ditunjukkan oleh seorang tokoh pergerakan Islam dan negarawan, Muhamad Natsir. Lagi-lagi akibat kritik yang tegas terhadap pemerintahan, Natsir bersama kelompok Petisi 50 dicekal untuk berpergian keluar negeri. Bahkan beliau juga tidak dapat menghadiri penganugerahan doktor kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Namun demikian, Natsir tidak sedikit pun menunjukkan sifat dendam terhadap Soeharto. Sopan santun dan pekerti yang halus ditunjukkan Natsir saat perayaan Idul Fitri di Cendana. Beberapa kali, Natsir datang datang untuk bersilaturahmi pada momen tersebut, meski kedatangannya sering tidak ditanggapi Soeharto.
Namun dibalik kritiknya terhadap orde baru, Natsir tetap melakukan yang terbaik bagi pemerintah. Secara sadar, Natsir membantu melaksanakan diplomasi dengan Jepang dan Kuwait untuk membenamkan modalnya di Indonesia dengan menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam membangun perekonomian.
Fragmen diatas merupakan cemin bahwa bangsa ini dibangun oleh pemimpin yang berjiwa besar dan bukan pendendam. Meski secara politik berseberangan, para pendiri republik ini memiliki cara elegan dalam menjalin persahabatan.
Pilkada serentak menjadi kaca benggala bagi kita semua, apakah dendam dan permusuhan akan terus menerus dipelihara sehingga Indonesia menjadi bangsa yang kerdil. Atau justru menjadi bangsa besar yang pemaaf dan penuh empati. Dan yang menentukan ini bukan hanya pihak yang dipilih, tetapi juga bagaimana sikap pendukungnya.Selamat memilih (lagi)!.
Dodik Prasetyo, penulis adalah pengamat politik
Komentar