Mencermati Dua Kekuatan Koalisi Parlemen Indonesia

  • 22 November 2014
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1578 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Pasca pemilihan Ketua DPR dan MPR banyak spekulasi muncul atas konstelasi politik Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Hal ini di dasari karena dalam pemilihan ketua di dua lembaga negara tersebut koalisi merah putih (KMP) telah berhasil menguasainya. Ketua DPR 2014-2019 dipimpin oleh Setya Novanto (Fraksi Partai Golkar), dengan wakil ketua Fadli Zon (Fraksi Partai Gerindra), Agus Hermanto (Fraksi Partai Demokrat), Fahri Hamzah (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Taufik Kurniawan (Fraksi Partai Amanat Nasional). Sedangkan pimpinan MPR periode 2014-2019 terdiri dari Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan 4 Wakil Ketua MPR yaitu Mahyudin (Golkar), EE Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta Odang (DPD).

Banyak asumsi yang mengatakan bahwa situasi ini menimbulkan kekhawatiran pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dimana kebijakan pemerintah akan menemui banyak ganjalan dari parlemen setelah mereka dilantik 20 Oktober 2014. Ada kecemasan terjadi kebuntuan pemerintahan akibat konflik pemerintah dengan DPR yang dikuasai KMP. Lantaran program pemerintah dapat terhambat dalam pembahasan di DPR.

Akan tetapi, sekiranya anggapan tersebut cukup menggelikan dan terlalu berlebihan. Sebagian pihak  terlalu paranoid dalam memandang suatu masalah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat memilih anggota DPR/ MPR tentu didasari oleh keinginan akan adanya kehidupan yang jauh lebih baik, lebih bermartabat, bukan untuk memilih mafia berdasi. Masyarakat pun masih meyakini bahwa mereka yang telah terpilih sebagai anggota DPR/MPR baik dari KMP atau pun KIH masih memiliki cita-cita positif bagi bangsa ini.Terbukti sekali lagi ketika kedua koalisi tersebut berkonflik dalam penetapan alat-alat kelengkapan di DPR, mereka kembali rujuk dengan beberapa kesepatan-kesepakatan, yaah…begitulah wajah para poltisi kita..

Seperti yang dikatakan oleh Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Dirinya berpandangan bahwa seharusnya Jokowi-JKtidak perlu galau dengan dinamika politik sekarang ini. Karena kalau mereka galau, cemas, gelisah yang dikhawatirkan justru mereka akan bagi-bagi kursi untuk menarik minat partai lain. Menurut Sebastian, Jokowi harus konsisten dengan komunikasi politik yang dibangunnya selama ini.

Dengan adanya dua kekuatan besar yang memimpin Indonesia (KMP dan KIH), seharusnya menjadi potensi besar bagi Indonesia. Adanya kekuatan yang sama kuat tersebut di legislatif dan eksekutif akan terjadi chek and balance. Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengungkapkan bahwa dirinya menilai kemenangan Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pemilihan Ketua MPR  adalah langkah untuk meminimalisir pergerakan Jokowi dalam menjalankan pemerintahan.

Wakil Sekretaris Partai Amanat Nasional (Wasekjen PAN) Yandri Susanto menilai besarnya kekuatan oposisi di parlemen dalam peta perpolitikan nasional adalah situasi langka. Namun bukan berarti harus dirisaukan oleh kubu koalisi pemerintahan Jokowi-JK, mengingat parlemen bertindak sebagai checks and balances. Dia melihat isu-isu yang berkembang di masyarakat saat ini, yang selalu memojokkan KMP bisa saja diembuskan pihak yang tidak bertanggung jawab. Tujuannya agar menciptakan ketegangan antara KMP dengan KIH yang tidak berujung. 

Sejalan dengan yang dikatakan oleh Yandri susanto di atas bahwa sepertinya memang ada yang sengaja memperbesar-besarkan masalah, sengaja memberikan kesan bahwa situasi politik Indonesia saat ini dalam keadaan “sakit” dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi atas kekisruhan politik di Indonesia.

Kita harus menyadari bahwa Indonesia memiliki pers yang kuat, kita pun harus ingat bahwa demokrasi Indonesia masih bertumpu pada rakyat. Kita juga harus ingat bahwa tidak semua kebijakan yang lahir dari pemerintah itu semuanya baik untuk rakyat. Bahkan koalisi yang kuat di pemerintahan dan DPR justru telah merugikan rakyat. Contohnya cukup banyak di Republik ini.

Dengan adanya dua kekuatan besar di Indonesia, kebijakan-kebijakan yang tidak begitu menguntungkan rakyat tentu dapat diminimalisir. Artinya bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak dapat serta merta membuat kebijakan yang tidak pro rakyat karena ada lembaga legislatif yang terus mengawasinya. Begitu pula sebaliknya.Mereka akan saling intip, saling mengawasi yang semuannya harus diarahkan bagi perbaikan Indonesia yang lebih baik, Disinilah peran Pers bersama elemen masyarakat lainnya untuk mengawal.

Peran media sebagai social control

Dalam mengawal kinerja pemerintah keberadaan pers (media) sangat diperlukan. Pers harus memposisikan diri sebagai pemberi informasi positif. Bukan sebagai bagian provokasi negatif. Media harus memberikan pemberitaan secara berimbang meskipun kita menyadari bahwa media saat ini ada yang dimiliki oleh kubu KMP ataupun KIH dimana pemilik media adalah ketua partai pendukung koalisi tersebut. Artinya bahwa media harus berperan secara baik dan positif, bukan berdasarkan kepentingan para elit politik.

Melalui pemberitaan-pemberitaan diberbagai media (massa dan elektronik) tersebut, masyarakat akan mengetahui siapa yang sebenarnya pro rakyat dan siapa yang tidak. Pemerintahan Jokowi-JK bersama KIH ataukah parlemendibawah KMP. Dengan demikian, masyarakat akan menilai siapa yang patut untuk didukung. Karena kedaulatan demokrasi Indonesia ada di tangan rakyat “dari, oleh dan untuk rakyat”. Sehingga biarkan rakyat yang akan menghukum, jika terbukti mereka telah menciderai amanah yang telah diberikan rakyat Indonesia tersebut.

Pratomo Brata Susilo : Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik, aktif pada Pusat Kajian Kebijakan Arus Reformasi.


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER