Pengalolaan Aset Adat Tak Transparan, Warga Kubutambahan Lurug Dewan

  • 15 Januari 2016
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 4340 Pengunjung

Buleleng, suaradewata.com – Puluhan warga Desa Adat/ Pakraman Desa Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Desa Kubutambahan mendatangi Kantor DPRD Buleleng, Jumat (15/1). Selain menuntut penerapan aturan tentang Desa Adat, warga pun tuntut pengelolaan asset adat berupa tanah seluas 450 hektare yang tidak dikelola secara transparan.

“Sudah pernah terjadi folemik karena tanah adat yang disewakan kepada investor dengan nilai miliaran rupiah kemudian tidak dikelola secara transparan. Bahkan tanah desa yang telah bersertifikat di tahun 1999 kemudian kembali dimohonkan lagi untuk diterbitkan sertifikat di tahun 2015. Ini karena sejak tahun 1990 tidak pernah ada pemilihan Kelian (Pemimpin) Desa Adat,” ujar Gede Suardana selaku kordinator Komunitas Pemerhati Desa Kubutambahan.

Menurutnya, permasalahan tersebut berangkat dari tidak diterapkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor  3 Tahun 2001 Tentang Pembentukan desa Pakraman. Dimana, kewajiban dilakukan pemilihan terhadap Kelian Desa Adat tidak pernah dilakukan oleh pengurus Desa Adat di Kubutambahan. Sehingga, sejak tahun 1990 tidak pernah dilakukan pemilihan Kelian Desa Adat di Desa Kubutambahan.

Hal itu berdampak pada sebuah pengelolaan tanah yang menjadi asset desa adat antara PT. Pinang Propertindo dengan pihak adat yang berlangsung sejak tahun 1990 dan berakhir pada tahun 2062. Kontrak tersebut dilakukan antara Kordinator Pemangku Pura yang ada di Desa Adat Kubutambahan yang dikenal dengan sebutan Jro Pasek dengan investor pemilik PT. Pinang Propertindo yang disebut-sebut bernama Adi Suara.

“Sejak tahun 1990 Jro Pasek terpilih adalah Ketut Warkadeya dan tidak pernah terpilih sebagai Kelian Desa Adat. Dan sejak itu pula ia mengangkat dirinya menjadi Kelian Desa Adat sampai sekarang sehingga ia pun melakukan pengelolaan terhadap tanah desa adat,” tutur Suardana kepadasuaradewata.com.

Ironisnya, tanah adat yang telah bersertifikat tersebut kemudian tidak pernah digunakan oleh PT. Pinang Propertindo melainkan disewakan lagi kepada masyarakat oleh Jro Pasek Ketut Warkandeya. Menurut Suardana, masyarakat selama ini mengetahui bahwa tujuan disewakannya tanah desa itu adalah guna dipakai usaha yang nantinya melibatkan masyarakat, seperti sector pariwisata.

Tapi, belakangan kemudian dikontrakan kepada warga oleh Jro Pasek Ketut Warkandya dan hasil dari pengelolaannya tidak pernah sama sekali transparan sehingga selama  sejak tahun 1990 tidak pernah diketahui oleh warga.

“Karena dia (Jro Pasek Ketut Warkandya, red) yang melakukan kontrak dan dia pun memilih dirinya sebagai Kelian Desa Adat di Desa Kubutambahan. Dan dengan tidak ada transparansinya hasil pengelolaan asset desa dan tidak pernah dilakukan pemilihan Kelian Desa Adat, ini kemudian menjadi pertanyaan besar. Padahal ada regulasi berupa Perda yang dikeluarkan oleh Provinsi Bali (Nomor  3 Tahun 2001, Red) yang mewajibkan pemilihan tersebut dilakukan melalui Paruman (Rapat) Desa,” papar Suardana.

Masalah  dualisme kepemimpinan serta ketidak transparasinya pengelolaan tersebut pun bukan pertama kali dicuatkan hingga ke gedung Dewan Buleleng. Menurutnya, pihaknya sempat diundang pada tanggal 28 Desember 2015 namun termasuk ketika mendatangi Gedung Dewan, Jumat (15/1). Tapi ternyata tidak ada pembahasan apapun yang dilakukan sehingga permasalahan tidak pernah selesai sampai sekarang.

Di sisi lain dalam waktu yang bersamaan berlangsung kegiatan rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi I (Hukum dan Pemerintahan), Mangku Mertayasa. Rapat tersebut berlangsung di ruang komisi IV yang dihadiri oleh pengurus majelis desa pakraman (Adat, Red) mulai tingkat Kecamatan Kubutambahan hingga Kabupaten Buleleng serta Tokoh Adat Buleleng, Made Rimbawa.

“Masalah adat sebetulnya tidak perlu sampai di Gedung Dewan karena sudah berbeda ranah dan tidak ada kaitannya dengan pemerintahan dinas. Adat harus diselesaikan oleh adat, bukan oleh Dewan,” ujar Rimbawa ketika diminta untuk menengahi permasalahan tersebut.

Dikatakan, selama ini tidak ada konsistensi penerapan konstruksi adat, mulai dari hukum adat (Dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah Awig Adat, Red) sampai pada manajemen pengelolaan adat. Menurut Arimbawa, kondisi tersebut disebabkan kurangnya pemahaman tentang adat serta adanya bentuk sifat egois lembaga adat terhadap masyarakat di bawahnya.

Sehingga, dengan kurangnya pemahaman tersebut menyebabkan permasalahan demi permasalahan adat muncul dan tidak pernah tersentuh hingga akhirnya muncul dalam bentuk konflik di permukaan.

Rimbawa yang juga mantan Ketua Majelis Madya Kabupaten Buleleng juga menyebutkan, kelahiran Perda Provinsi nomor 3 tahun 2001 merupakan perubahan dari Perda 06 tahun 1986. Perda tahun 2001 tersebut merupakan produk hokum inisiatif dewan provinsi tahun 1999 lalu dilanjutkan oleh anggota DPRD Provinsi periode berikutnya hingga kemudian disahkan.

“Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hokum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi. Jadi, kesatuan masyarakat yang tetap mengakui keberadaan hokum adat tersebut. Berdasarkan Paruman Agung (Rapat Besar, Red) yang berlangsung tahun 2006 terdapat salah satu hasil klausul yang menyebut desa pakraman yang bermasalah dan masalah di desa pakraman yang harus diselesaikan oleh Desa Pakraman. Sehingga masalah di Desa Pakraman harus diselesaikan di Desa Pakraman bukan oleh Dewan,” kata Rimbawa.

Menyikapi hal tersebut, Mangku Mertayasa mengaku pihaknya hanya mendengarkan bentuk aspirasi dari warga adat di Desa Kubutambahan. Tidak mungkin, lanjut Mertayasa, ia kemudian tidak menerima kedatangan masyarakat Buleleng yang menyalurkan aspirasi ke gedung Dewan.

Hal tersebut diungkapkan Mertayasa terkait bentuk penolakan Ketua DPRD Kabupaten Buleleng, Gede Supriyatna, untuk menemui warga adat Desa Kubutambahan.

Bahkan, menurut informasi dari Suardana bahwa sempat melakukan konfirmasi dengan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buleleng, Ketut Susila Umbawa, tekait undangan kepada pihak komunitas di Desa Kubutambahan yang ditanda tangani langsung oleh Gede Supriyatna. Namun kedatangan warga adat Desa Kubutambahan pun tidak juga ditemui oleh Susila Umbara.

Terkait kebenaran surat undangan pembahasan masalah adat di Desa Kubutambahan tersebut, Supriyatna dan Susila Umbara belum bias dikonfirmasi.adi


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER