HMI Ricuh? Mahasiswa Berkaca

  • 07 Desember 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1830 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Baiklah, mari telan ludah bersama-sama. Tri Dharma Perguruan Tinggi menurut sejarahnya hadir sebagai kanal prinsip (yang kini nampaknya sekedar jargon) bagi mahasiswa yang diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Isinya mencangkup 3 hal mendasar yang memang idealnya dijadikan pola dasar pikir dan kewajiban bagi mahasiswa, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat. Jadi, kita bahas Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk ngorek-ngorek ricuhnya HMI? Tidak. Ini untuk kita konsumsi bersama-sama, pahit manisnya.

Dalam hal pendidikan, mahasiswa sebagai kaum intelektual bangsa kira-kira menjadi bangsa yang menduduki antara 8-10 persen populasi. Tak peduli angkatan segar pasca ospek maupun angkatan veteran yang terlanjur jatuh cinta dengan status mahasiswa. Mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah digariskan takdir Tuhan untuk meningkatkan mutu diri secara khusus agar mutu bangsa ini juga kian bagus. Berat memang, namun entah mengapa prefiks macam ‘maha’ ini ditempel pada siswa perguruan tinggi. Mungkin untuk memperjelas tanggung jawab pendidikan itu.

Mahasiswa tentunya diwajibkan meneliti dan mengembangkan diri sendiri sebelum melakukan penelitian dan pengembangan. Tak jarang mahasiswa membutuhkan pembimbing dalam melakukan penelitian, meski kadang pembimbing tiba-tiba jadi pembimbang. Oleh karena itu, butuh penguasaan diri baik dari kualitas kemampuan, keterampilan maupun kedewasaan mahasiswa sendiri dalam menghadapi serunya lika-liku penelitian demi membuktikan suatu hipotesa. Kedewasaan, bukan ke-Dewa-saan yang seringkali cuma jadi ‘­aku-aku’ dalam me-negasi kesalahan, atau malah melemparkan kesalahan.

Meski bukan kader PDI atau pecinta Soekarno, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat jika mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi poin pengabdian masyarakat. Sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah, mahasiswa memiliki hak untuk berteriak mewakili rakyat berdemo di depan gedung parlemen. Sayangnya mahasiswa sebagai frontline rakyat dalam mengkritisi kebijakan kadang tidak murni dilatarbelakangi oleh kepentingan rakyat. Pasti masih ada makelar massa yang mampu mengerahkan sejumlah mahasiswa untuk teriak demi meruntuhkan sebuah kebijakan yang jika dipikir pendek nampak negatif? Dibayar dengan nasi Padang atau rice box fastfood, untung-untung jika dapat kaos dan uang bensin. Padahal jika dikaji ulang, konsekuensi logis antara keuntungan dan kerugian pasti keuntunganlah lebih besar bagi bangsa daripada kerugiannya. Rugi mungkin bagi pemegang kepentingan yang kontra dengan kebijakan yang dibuat demi kesejahteraan rakyat. Untuk itulah kita, sebagai mahasiswa harus sering-sering mandi, agar memiliki pemikiran segar sehingga mampu berpikir jernih untuk membedakan dan mengantisipasi kalau-kalau kita digunakan sebagai alat bagi pemegang kepentingan yang memang doyan bikin rusuh, sehingga drama kisruh politik naik dan dolar pun ikut naik. Krisis moneter lagi pun menghadang. Chaos masa lalu sudah sangat melelahkan bangsa ini untuk membangun kembali kemakmuran. Tentunya peran membela kepentingan masyarakat harus ditato dalam pemikiran mahasiswa namun tidak dengan aksi rusuh yang dengan mudah bisa dilakukan. Butuh kesediaan memahami nilai-nilai luhur dari kearifan lokal, mengaji dan juga mengkaji, saling memahami dan bersedia tidak hanya aktif di sosial media tapi juga partisipatif bersosialisasi dan mensosialisasikan pemahaman pada rakyat, membuka mata dan hati rakyat akan permasalahan yang ada meski tanpa wadah organisasi populer sekalipun.

Mahasiswa menerima hak untuk dididik oleh lingkungannya dan berkewajiban untuk mendidik lingkungannya pula. Mahasiswa mendidik dan dididik, bukan menghardik dengan arogansinya. Artinya, segala hal yang dilakukan mahasiswa sepanjang hidupnya adalah hal yang rasional, mencintai suatu ilmu pun rasional, mencintai yang lain pun, entahlah. Sayangnya, berkaca dari pemberitaan di media terkait tindakan beberapa teman-teman HMI dalam Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Gelanggang Remaja Kota Pekanbaru, Riau yang berlangsung dari 22-26 November 2015, nampaknya teman-teman kita ini mungkin dilanda jetlag, jetlag atas pergerakan pemikiran maupun jetlag fisik.

Melihat aksi akibat jetlag teman-teman HMI seperti yang diberitakan, mulai dari pemberitaan rombongan ribuan HMI yang makan di restoran tanpa bayar bukan karena gratis tapi karena kabur, atau pemberitaan protes HMI Makassar yang bikin rusuh karena merasa tidak diakomodasi oleh panitia, hingga adanya peserta yang sedia senjata sebelum ‘hujan’,  tentunya teman-teman lain merasakan bahkan memikirkan hal serupa, antara bikin malu, kesal atau memang sekedarseru-seruan saja agar ramai di media? Tidak mungkin. Ingat bahwa mahasiswa begitumaha-nya, bertindak pun harus didasari pertimbangan rasional, bukan adu otot yang nampak serampangan. Maha mikir.

Mari tengok parkiran atau warung nongkrong di kampus. Paling tidak ada 3 jenis kaliber di balik jetlagnya HMI: kaliber pendek, kaliber sedang dan kaliber panjang.  Dan 3 kaliber ini menjadi kombinasi bagi konstruksi HMI Masa Kini.

Kaliber pendek adalah mahasiswa-mahasiswi yang sekedar tahu tanggungjawab sebagai civitas academica. Ya kalau ada komando ya dilaksanaken, jika tidak ada ya sudah, mari mengerjakan tugas kuliah atau nongkrong di warung-warung neo-kapitalis, ups. Tidak salah, namanya juga pilihan hidup. Lagipula permasalahan tiap pemuda masa pubertas akhir ini memang berbeda-beda. Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap ngumpul bersama.

Kaliber sedang adalah mahasiswa-mahasiswi yang cukup tahu tanggungjawab sebagai civitas academica. Biasanya mahasiswa kaliber ini nampak progresif pergerakannya. Jika dari Pejabat Rektorat hingga BapakSecurity (bahkan mungkin intel pun) hafal nama dan kebiasaan kita, sungguh kita tergolong umat mahasiswa kaliber sedang. Kenapa sedang? Ya memang sedang. Kalau ditanya sedang apa, mungkin sedang unjuk rasa, sedang ujian ulang, sedang bakar ban. Pergerakannya kadang tidak jelas. Jadinya sedang-sedang saja. Tidak salah, mungkin role model yang dipakai hanya dengan menduplikasi kulitan aktivis era reformasi yang belum difasilitasi petisi online, atau memang lebih keren kalau bakar ban dan memilih merusak aspal yang dibangun pakai uang rakyat. Aktivis yang seperti ini pastinya sering lelah dan haus lagi. Sayangnya, sang mahasiswa haus kekerasan dan malah dibungkus dengan label pergerakan. Sungguh kasihanilah rakyat.

Kaliber terakhir adalah kaliber panjang yang bukan sembarang nongol dan beraksi secara narsistis. Meski mikirnya panjang, kecepatan juga dimiliki oleh mahasiswa kaliber ini. Yang seperti ini adalah mahasiswa-mahasiswi progresif secara pemikiran karena disibukkan dengan gundah gulana memikirkan masa depan bangsa. Kesehariannya diisi dengan santapan ilmu baru atau gosip-gosip terkini dari infotainment bergenre ideologi,politik, sosial, budaya, ekonomi, semacam  liberal art. Paham menurutnya adalah gesekan dan perbedaan itu perlu untuk membangun ketajaman berpikir kritis dan logis tanpa anarkis, karena ada cara-cara etis dan romantis untuk mengutarakan isi pikirannya dan keresahan hatinya akan kembang-kempisnya negara ini. Maka dari itu, sebagian besar aktivis yangseperti ini kebanyakan yang kita temui masih nampak njomblo. Bukan karena mati rasa, mungkin lagi-lagi karena bercinta juga merupakan pertimbangan logis dengan berbagai dampak yang bisa ditinjau dari berbagai keilmuan. Namanya juga berjuang.   

Kombinasi dari ketiga kaliber mahasiswa di atas menjadi proyeksi akan latar belakang tragedi-tragedi Kongres HMI yang nampaknya rusuh. Apalagi jetlag pemikiran masa kini bukanlah hal yang ringan. Fenomena situasi negara saat ini yang sering dilanda kalang-kabut membuat mahasiswa oleh diri dan lingkungannya dituntut mengakselerasikan kecepatan pemahamannya. Nah, perpindahan gear 1 ke 4  keseringan memberi efek sampingmesin’ mahasiswa tidak sehat dan jetlag-­­lah jadinya. Bagaimana kalau ganti matic saja? Tapi takut ga kuat kalau menuju ‘pergerakan’ di tanjakan. Semoga kita semakin sehat dan tidak mudah terserang jetlag dan bagi yang muslim semoga makin islami dalam berkehidupan.  Masih ingat kan, adzab bagi umat muslim yang tidak mengamanatkan uang rakyat dengan baik? Kita sama-sama tahu, berapa digit rupiah uang rakyat digunakan untuk Kongres HMI berhari-hari ini.

Untuk teman-temansesama mahasiswa-mahasiswi: Ingat Tri Dharma Perguruan Tinggi?  Mungkin basi atau bahkan belum pernah dengar?

Catatan: Tulisan ini tidak hanya berlaku pada mahasiswa, tetapi juga mahasiswi. Meski yang disebut hanya mahasiswa, tenanglah karena mahasiswi selalu ada di hati.

Penulis, Asya Winarno


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER