Masih Pentingkah HUT OPM

  • 29 November 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2961 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Menjelang tanggal 1 Desember, masyarakat Papua kerap dihantui oleh momentum perayaan HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM).Acara tersebut biasanya diisi oleh demonstrasi dan pengibaran bendera bintang kejora yang menjadi simbol perjuangan rakyat Papua. Aparat pun bertindak sigap dengan melakukan pengamanan, mengantisipasi munculnya gesekan fisik akibat adanya konsentrasi massa dalam jumlah besar. Namun, masyarakat disana sudah terlajur khawatir. Mereka mengurangi aktivitasnya di luar ruangan, menutup tokonya sesegera mungkin, dan berharap terhindar dari gangguan Kamtibmas serta aksi anarkis. Berkaca pada kondisi yang hampir terjadi setiap tahun tersebut, perlu kiranya untuk mempertimbangkan beberapa hal berikut.

Pertama,Organisasi Papua Merdeka yang terbangun selama ini tidak murni oleh ideologi pemisahan diri semata, namun juga  sarat dengan sisi pragmatis dari orang-orang yang bergabung menjadi anggota OPM. Ini berarti jika ada orang-orang yang mengaku sebagai anggota OPM dan mendukung ide pemisahan Papua sebenarnya kental dengan nuansa ekonomi.

Sebagai contoh adalah kasus Bupati Lanny Jaya, Befa Jigibalom terhadap kelompok Eden Wanimbo. Seperti dilansir news.liputan6.com,  Befa mengaku pernah memberi uang sekitar Rp. 100 juta kepada Eden Wanimbo. Bahkan Enden pernah meminta uang sebesar Rp. 300 sampai Rp. 500 juta, namun hal tersebut dengan tegas ditolak Befa.

“Hingga saat ini, jika permintaan mereka hanya Rp 5 juta sampai Rp 20 juta, pasti akan saya berikan, lebih dari itu tidak " jelas Befa

Kedua,OPM merupakan organisasi radikal separatis yang menuntut Papua merdeka dari Indonesia. Untuk mewujudkan keinginannya mereka tak segan menggunakan teror dan kekerasan guna menarik simpati masyarakat. Pembangunan yang dirancang pemerintah pun terhambat akibat ulah OPM. Hal itu seperti yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, pada 29 Januari 2015yang dilakukan OPM guna menolak pembangunan di Kabupaten Lany Jaya.

Sementara itu, menurut data Kepolisian Daerah Papua, OPM diketahui melakukan penembakan dan perampasan senjata terhadap Niko Warobay di Kampung Wotai, Distrik Yatamo, Kabupaten Paniai. Sebelumnya, OPM juga terindikasi melakukan pemerasan dan pembakaran terhadap 3 ekskavator milik PT Modern di Paniai serta tindak pemerasan terhadap pendulang tradisional di Kali Degeuwo.

Ketiga,sejumlah faksi OPM sepertiWest Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan beberapa faksi kecil lainnya yang tergabung dalam United Liberation Movement For West Papua (ULMWP)sesumbar berhasil memasukan isu pelanggaran HAM di Pacific Island Forum (PIF), meskipun tidak memberikan efek kesejahteraan sedikitpun bagi masyarakat Papua. Yang menarik disini adalah UMLWP sebenarnya adalah kumpulan faksi politik OPM, tanpa menyertakan satupun faksi militer OPM. Hal tersebut disebabkan oleh isu yang diangkat oleh faksi politik OPM di mata internasional adalah pelanggaran HAM, yang justru banyak dilakukan oleh faksi militer OPM. Bahkan pimpinan OPM seperti Puron Wenda tidak pernah mendukung faksi militer OPM. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa OPM sebenarnya saling terpisah bahkan berseteru.

Ketiga, Jika isu kesejahteraan yang memicu aksi separatisme, saat ini pemerintah tengah melakukan pembangunan masif yang terwujud dalam kunjungan Presiden Jokowi pada 9-11 Mei 2015 ke Papua. Dalam kesempatan tersebutpresiden meresmikan Kampus IPDN, meresmikan pembangunan fasilitas PON 2020 dan meresmikan kabel optik milik PT Telkom. Langkah pemerintah juga kembali di pertegas melalui pidato kenegaraan Presiden Jokowi yang berkomitmen untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan energi dan transportasi, yakni pembangunan rel kereta api. Selain itu, pemerintah akan berusaha memperbanyak pasar rakyat guna menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekonomi kreatif.

Keempat,keberadaan PT Freeport yang selama ini sering disebut tidak pernah memberi kesejahteraan masyarakat Papua bahkan Indonesia mulai terusik. Pemerintah kini mulai bertindak keras dengan memberikan syarat kepada PT Freeportantara lain, pembangunan smelter, memanfaatkan sumber daya lokal, melepas sahamnya kepada pemerintah, serta memanfaatkan sumber daya lokal. Hal itu diamini Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan bahwa jika Freeport tidak bisa melengkapi syarat tersebut, maka segera diambil alih oleh pemerintah Indonesia saat kontraknya berakhir. Bahkan, Presiden Jokowi dengan tegas menolak perpanjangan kontrak Freeport sebelum 2019 atau dua tahun menjelang berakhirnya kontrak.

Kelima, Pada  25 Maret 2015, sebanyak 23 pengikut OPM pimpinan Goliath Tabuni mengakhiri masa gerilyanya melawan aparat keamanan. Seperti dilansir Kompas, mereka ingin dibuatkan honai dan mempertahankan Pos Ramil yang dianggap telah memperhatikan mereka selama ini. Dalam kesaksiannya, aksi ini dilakukan karena ingin hidup layak seperti masyarakat Indonesia pada umumnya.Senada dengan hal tersebut, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen Siahaan menegaskan bahwa berdasarkan keterangan 23 orang itu, mereka sudah tidak percaya dengan Goliath yang sudah sakit-sakitan, bahkan mereka juga telah merobohkan tiang bendera di depan markas Goliath.

Papua telah lama menjadi bagian dari Indonesia, meski masih menyisakan persoalan ketimpangan kesejahteraan. Namun, upaya pemisahan diri seperti yang diusahakan oleh OPM bukanlah jalan keluar satu-satunya. OPM yang dianggap mampu membawa perubahan bagi Papua sebenarnya jugatidak luput pragmatisme pribadi dan kelompoknya masing. Dengan demikian, masih pentingkah kita merayakan HUT OPM?

Dodik Prasetyok, Penulis adalah pemerhati masalah Papua


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER