SE “Hate Speech”: Membungkam atau Mendewasakan?

  • 09 November 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 4334 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Instiitusi Kepolisian kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, publik menyoroti Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Kapolri Jendral Pol. Badrodin Haiti terkait ujaran kebencian (hate speech) di media sosial. Berdasarkan SE ini, Kapolri meminta kepada seluruh aparat kepolisian untuk menindak tegas siapa saja yang menggunakan ujaran kebencian atau hate speech yang kiranya dapat merendahkan suatu pihak tertentu. Adapun tindakan tegas tersebut, menurut kepolisian, diprioritaskan yang bersifat preventif. Apabila tindakan preventif tersebut dirasa kurang efektif, aparat kepolisian dipersilahkan untuk mengambil tindakan hukum.

Sontak, publik pun bereaksi atas kebijakan tersebut. Pro dan kontra tak terhindarkan. Bagi kalangan masyarakat yang pro, SE “Hate Speech” dianggap akan membuat publik menjadi lebih “beretika” ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Akan tetapi, tidak sedikit juga masyarakat yang menolak eksistensi SE “Hate Speech”, karena menganggap kebebasan berekspresi akan terbungkam. Selain itu, SE “Hate Speech” juga dianggap sebagai bentuk ketakutan pemerintah terhadap kritikan masyarakat. Bahkan tidak sedikit juga yang menuding SE “Hate Speech” merupakan pintu masuk bagi pemerintah untuk membawa bangsa ini ke dalam era otoriter.Masih banyak lagi tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah, yang pada intinya kecewa dengan adanya SE “Hate Speech” tersebut.

Apabila mengacu pada penjelasan pihak kepolisian, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh masyarakat, khususnya publik media sosial, terkait adanya SE yang diteken oleh Kapolri pada Oktober silam tersebut.Di dalam SE “Hate Speech” sendiri memang tertulis bahwa SE tersebut ditujukan untuk mencegah agar jangan sampai suatu ujaran kebencian dapat memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial yang meluas. Ditambahkan oleh Kapolri, SE “Hate Speech” justru melindungi Hak Asasi Manusia, bukan menentangnya sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak pihak.

Dari penjelasan pihak kepolisian terlihat bahwa yang akan “dipersoalkan” oleh pihak kepolisian hanyalah “pendapat” yang memiliki konteks “kebencian”, “provokasi”, dan “merendahkan” martabat suatu pihak tertentu. Kritik ataupun saran yang membangun tentu saja tidak akan “diusik”, apalagi sampai “dipersoalkan” oleh pihak kepolisian. Hal ini tentu saja secara otomatis menepis anggapan bahwa SE “Hate Speech” ingin membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Walaupun SE “Hate Speech” berlaku, masyarakat tetap dipersilahkan untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas namun tetap dengan memperhatikan norma-norma dan aturan yang ada. Terang saja, karena kebebasan atau hak kita untuk menyampaikan pendapat dibatasi oleh hak atau kepentingan orang lain. Dengan kata lain, SE “Hate Speech” berfungsi untuk mendewasakan masyarakat sehingga lebih “beretika” ketika menyampaikan pendapat di muka umum.

Akan tetapi, ada pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Sederhananya, tidak ada yang sempurna, termasuk SE “Hate Speech”. SE tersebut tentu saja rawan untuk dijadikan alat justifikasi bagi oknum yang ingin semena-mena membatasi kebebasan berpendapat masyarakat. Oleh karena itu, pihak kepolisian harus tegas dalam membuat batasan dari apa yang dimaksud dengan “ujaran kebencian” itu sendiri. Batasan yang tegas dari “ujaran kebencian” selain berfungsi untuk mencegah terjadinya abuse of power dari kepolisian, juga berfungsi untuk meningkatkan optimisme masyarakat terhadap efektivitas SE “Hate Speech” itu sendiri. Dengan demikian, penolakan masyarakat terhadap berlakuknya SE “Hate Speech” akan berkurang.Sejalan dengan itu, kepolisian juga dapat terhindarkan dari perilaku sewenang-wenang yang dapat menurunkan citra kepolisian di mata masyarakat.

Selain itu, pihak kepolisian juga wajib untuk tidak tebang pilih ketika mengimplementasikan SE “Hate Speech”. Entah itu individu biasa, pejabat publik, tokoh masyarakat, bahkan oknum penegak hukum sendiri, apabila memang terbukti melanggar apa yang diamanatkan di dalam SE “Hate Speech”, perlu untuk mendapatkan tindakan yang tegas dari kepolisian. Persoalan tebang pilih ini menjadi persoalan yang klasik namun krusial bagi pihak kepolisian. Apalagi, akhir-akhir ini pihak kepolisian sering mendapat catatan kurang baik dari masyarakat terkait banyaknya aksi tebang pilih yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Jangan sampai SE “Hate Speech” yang memiliki tujuan mulia ini menjadi sia-sia dan dianggap “sampah” oleh masyarakat hanya karena aksi oknum kepolisian yang melakukan tebang pilih dalam mengimplementasikan SE “Hate Speech”.

Jauhari, penulis adalah Pengamat Sosial Politik di Bandung


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER