Masyarakat Harus Mengerti Akan Toleransi Agama

  • 30 Oktober 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3999 Pengunjung

Opini, suaradewata.com -Semua manusia diciptakan  sama,  Tuhan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama manusia karena warna kulit atau bentuk fisik lainnya. Perbedaan itu adalah anugerah yang harus kita syukuri. Kita harus bersyukur dengan keragaman karena dengan keragaman, kita menjadi bangsa yang besar dan arif dalam bertindak. Agar keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi sebuah kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Persatuan dan kesatuan di sebuah negara yang beragam dapat diciptakan salah satunya dengan perilaku masyarakatnya yang menghormati keberagaman dengan mewujudkan perilaku toleran terhadap keberagaman tersebut. Sikap toleransi berarti menahan diri, bersikap sabar, menghormati perbedaan pendapat. Toleransi sejati didasarkan sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani, dan keyakinan, serta keikhlasan sesama apa pun agama, suku, golongan,  atau pandangannya.

Bentrokan antar warga di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupatan Aceh Singkil, yang baru baru ini terjadi tepatnya  pada Selasa, 13 Oktober 2015, adalah contoh  sikap  tidak  mewujudkan perilaku toleran terhadap keberagaman.  Seperti dituturkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti,  terjadinya bentrok antar warga di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil,  akar masalahhya  karena  keinginan sejumlah warga menertibkan rumah ibadah yang dianggap tak memiliki izin. Sebelum adanya aksi pembakaran itu, pemerintah daerah dan tokoh agama sebelumnya sudah membuat kesepakatan jika pembongkaran akan dilaksanakan pasa 19 Oktober 2014.  Namun, sejumlah warga mengambil langkah lebih dulu dengan membakar gereja.

Dalam menjalankan aksinya, warga yang berjumlah sekitar 500 orang mendatangi setiap gereja yang ada di lingkungan tersebut. Karena  jumlah warga yang melakukan perusakan tidak sebanding dengan jumlah TNI-Polri yang hanya berjumlah 20 orang setiap gereja, maka terjadilah pembakaran gereja.

Menurut Humas Pemkab Aceh Singkil, Kaldum, sejak sepekan lalu atau sebelum terjadinya aksi, tuntutan massa untuk  membongkar gereja yang dianggap ilegal sudah digaungkan. Sebab, pada 1979, ada perjanjian dari umat Nasrani mereka hanya membangun satu gereja dan empat undung-undung. Namun perlahan, jumlah rumah ibadah itu terus bertambah seiring waktu. Aspirasi dan desakan warga supaya Pemkab segera membongkar gereja yang  dianggap ilegal sudah disampaikan. Namun, karena  langkah Pemkab dianggap lamban, maka masyarakat yang tidak sabar langsung turun ke jalan. Buntut kerusuhan itu, sebuah gereja di Kecamatan Gunung Meriah dibakar massa, dua korban tewas dan empat luka-luka.

Akibat kerusuhan tersebut, sehari setelahnya atau tepatnya pada 13 Oktober sekitar 8.000 warga Kristen di Kabupaten Aceh Singkil mengungsi. Pendeta Gereja Protestan Pakpak Dairi di Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, mengatakan konsentrasi pengungsi terbesar ada di Desa Seragih, Kecamatan Manduamas di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang menampung sekitar 6.000 orang. Sisanya di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Warga, baru akan kembali dari pengungsian setelah pemerintah memberi jaminan bahwa mereka bisa beribadah di gereja seperti biasa. Kasus  ini bukan pertama kalinya, warga juga pernah mengalami peristiwa serupa, terjadi pada tahun 1979, 2001, dan 2012.

Saat ini situasi di lapangan, tidak ada gejolak lagi, tapi mereka masih ketakutan karena tidak ada kejelasan keamanan dari perlindungan yang diberikan oleh negara. Mereka, pemerintah  mengatakan aman, aman, tapi bagi jemaat kami, aman itu artinya ada kepastian. Aman bukan secara fisik, tapi nyaman ibadah kami boleh berlangsung di sana, dan gereja kami boleh beribadah di sana.

Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan terjadinya bentrokan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil  terjadi karena  banyak faktor, bukan hanya intoleransi. Secara historis,  kawasan Aceh Singkil yang berada di daerah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara adalah daerah perkebunan yang menarik banyak pendatang untuk bekerja di sana. Jumlah pendatang  yang beragama Kristen sekitar 14 ribu, hal ini  menimbulkan persaingan ekonomi antara suku Pakpak dan suku Singkil.

Dalam jumpa pers pada Selasa, 13 Oktober sore di Jakarta, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI),    memprihatinkan dan mengutuk keras pembakaran gereja yang dilakukan sekelompok orang, karena tindakan itu telah menimbulkan rasa tidak aman bagi warga di Aceh Singkil. Ada dua gereja yang dibakar oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Kepala Humas PGI, Jerry Sumampouw mengatakan, kedua gereja itu, yaitu gereja HKI dan satu gereja Katolik yang belum diketahui namanya, terletak di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil.  Pembakaran gereja  diawali tuntutan sekelompok orang yang menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil. Mereka, menuntut agar pemerintah Aceh Singkil membongkar semua gereja yang tidak berizin di wilayah itu.

Pemerintah daerah setempat kemudian menggelar pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini pada Senin, 12 Oktober atau sehari sebelum aksi. Dilaporkan, pertemuan itu menyepakati pembongkaran 10 gereja di Aceh Singkil dalam kurun waktu dua pekan. Dan pembongkaran akan dimulai 19 Oktober mendatang.  Tetapi,  walau telah disepakati kesepakatan, tanpa disangka-sangka pada  Selasa, 13 Oktober, terjadi penyerangan ke gereja-gereja.

Imdadun Rahmat, selaku komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  mendesak kepolisian untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, pasca pembakaran gereja. Pengerahan kepolisian diperlukan mengingat konflik horizontal rawan terjadi. Dari 19 gereja yang mengadu ke Komnas HAM, semuanya tidak memiliki izin. Setelah kami telusuri, ternyata secara keseluruhan 24 gereja tidak berizin.

Komnas HAM lalu berupaya melakukan mediasi mengenai permasalahan izin pendirian rumah ibadah dengan menemui bupati Aceh Singkil dan para pihak terkait. Kala itu, pemerintah Kabupaten Singkil bersepakat mencari penyelesaian permanen dengan mengupayakan pemberian Izin Mendirikan  Bangunan (IMB), dengan didahului verifikasi data pengguna dan pendukung sesuai peraturan menteri atau peraturan gubernur. 

Atas terjadinya peristiwa kerusuhan dan pembakaran tersebut, seyogyanya masyarakat memahami bahwa Pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang ada di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Negara menjamin warga negaranya untuk menganut dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Dalam kehidupan berbangsa, keberagaman dalam agama harus diterapkan, agama tidak mengajarkan untuk bersikap tidak toleran terhadap perbedaan keyakinan,  tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan dianut oleh orang lain.

Kita harapkan  masyarakat Indonesia, dalam memandang kehidupan bermasyarakat harus menjunjung tinggi toleransi. Apabila ada permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah. Seharusnya kejadian pembakaran gereja di Aceh Singkil tidak perlu terjadi seandainya massa tersebut sabar menunggu penertiban yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah pada 19 Oktober. Akibat pembakaran tersebut yang dirugikan bukan hanya kelompok minoritas saja, kelompok mayoritas yang tidak ikut-ikutan juga menjadi resah.

Untuk Pemerintah daerah juga harus benar-benar menjalankan aturan, apabila pendirian gereja tidak memenuhi persayaratan diharapkan tidak diberikan izin pembangunannya, dan harus ada tindakan, apabila dibiarkan akan menjadi benih-benih konflik antar agama di kemudian hari.    Untuk menimbulkan efek jera dan tidak terjadi  kembali peristiwa tersebut baik di Aceh maupun di daerah-daerah lainnya penegakan hukum juga harus dilakukan, penggalangan dan   sosialisasi toleransi antar umat juga harus lebih di “galakkan” agar masyarakat khususnya di Aceh dan daerah rawan konflik agama memahami toleransi itu diperlukan walaupun berbeda etnis, suku, agama, dalam  bingkai Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu dalam NKRI.

Bahrul Ulum, Tokoh Pemuda Kab. Kaur, Provinsi Bengkulu


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER