Meredam Bara Pertikaian di Aceh Singkil

  • 28 Oktober 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2932 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Rasa persatuan dan persaudaraan bangsa Indonesia kembali terkoyak. Pada 13 Oktober 2015, sekitar 500 orang massa melakukan konvoi dan membakar sebuah gereja di Desa Suka Makmur, Kecamatan Simpang Kanan, Kab Aceh Singkil. Menurut Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti, kejadian itu bermula dari kesepakatan Pemerintah Daerah dengan masyarakat soal penertiban 21 gereja yang tidak berijin pada 12 Oktober 2015. Dalam kesepakatannya, sejumlah gereja tersebut akan dibongkar pada 19 Oktober 2015.

Namun apa lacur, kesepakatan tersebut hanya isapan jempol. Massa yang merasa tidak terwakili pada pertemuan dengan Pemda sehari sebelumya, tiba-tiba berkumpul dan melakukan pembakaran gereja. Di tengah jalan, aparat keamanan dan para tokoh agama telah menghadang rombongan ini, namun karena kalah jumlah, massa terus merangsek ke wilayah gereja. Aksi anarkis pun tak terhindarkan.

Tak sampai disitu, warga kembali bergerak menuju Desa Sianju-anju Kecamatan Gunung Meriah untuk membongkar undung-undung (tempat ibadah yang lebih kecil dari gereja). Di tempat tersebut, massa sudah dihadang massa yang menjaga sehingga bentrokan antara kedua kelompok massa pun pecah. Bentrokan ini mengakibatkan satu orang meninggal dunia dan empat lainnya luka-luka, termasuk satu prajurit TNI yang berupaya menenangkan massa.

Menurut Bupati Aceh Singkil, Safriadi, sebenarnya di Aceh Singkil telah ada kesepakatan damai antara Umat Islam dan Kristen pada 1979 yang kembali dipertegas melalui musyawarah tahun 200. Berdasarkan  kesepakatan damai tersebut, di Aceh Singkil disetujui pembangunan satu gereja dan empat undung-undung. Namun nyatanya, saat ini undung-undung telah membengkak menjadi 24 bangunan, sehingga memicu gejolak masyarakat.

Banyaknya gereja di Aceh Singkil tak bisa dilepaskan dari letak geografis wilayah tersebut yang berdekatan dengan Kab. Pakpak, Sumatera Utara. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Menteri Koordinator Politik dan HAM, Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan bahwa sebagian besar warga Aceh Singkil berasal dari Pakpak, Sumatera Utara sehingga kebanyakan warga beragama Kristen

Pendirian tempat ibadah sesungguhnya telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006. Dalam klausulnya, pendirian tempat ibadah harus mendapat sedikitnya dukungan 60 orang dalam bentuk tanda tangan dan disahkan oleh lurah atau kepala desa. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan dari 19 gereja yang mengadu ke Komnas HAM semuanya tidak memiliki izin. Namun setelah ditelusuri, 24 gereja secara keseluruhan tidak memiliki izin. Oleh sebab itu, Komnas HAM saat ini tengah melaksanakan mediasi dengan Bupati Aceh Singkil dan pihak terkait untuk membicarakan masalah perizinan tempat ibadah.

Beribadah merupakan hak asasi yang dijamin konstitusi dan mendirikan tempat ibadah merupakan akomodasi kebutuhan untuk beribadah secara kolektif. Dengan demikian, pelarangan kegiatan beribadah atau mendirikan tempat ibadah sangat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Regulasi yang mengatur pendirian tempat ibadah pun telah dikeluarkan pemerintah meski implementasi di lapangan masih jauh dari kata ideal.

Di beberapa kasus, pendirian tempat ibadah yang memerlukan 90 tanda tangan pendukung dan 60 tanda tangan warga sekitar justru disandera isu pemalsuan tanda tangan seperti yang terjadi di Ciketing, Bekasi tahun 2010. Di sisi lain, massa pendukung pendirian tempat ibadah seringkali ngotot untuk mendirikan tempat ibadah meski telah ditentang oleh warga sekitar. Jika hal ini dibiarkan maka dapat dipastikan bahwa kisah intoleransi beragama di Indonesia akan kembali berulang dan lagi-lagi kelompok minoritas yang akan menjadi korban. Seperti halnya yang terjadi di Aceh Singkil atau di Tolikara.

Diperlukan kedewasaan sikap dan mental melihat perbedaan untuk meredam bara pertikaian di Aceh Singkil. Kedua belah pihak yang bertikai perlu bersama-sama menahan diri dari isu provokatif yang seringkali dihembuskan oleh kelompok kepentingan yang ingin mencari keuntungan. Selain itu, masyarakat perlu untuk salingmemahami dan mematuhi peraturan tentang pendirian tempat ibadah guna menghindari terulangnya bentrokan serupa. Alasannya, secanggih apapun perangkat hukum yang dikeluarkan pemerintahakan selalu menjadi barang kuno tanpa adanya kepatuhan dari masyarakat.

Pemerintah juga dinilai perlu untuk memfasilitasi pertemuan kedua belah pihak sebagai upaya rekonsiliasi dan menghilangkan trauma dari peristiwa tersebut. Pada tahap selanjutnya, pemerintah juga perlu untuk melibatkan kedua belah pihak untuk membentuk kegiatan bersama sehingga diharapkan mampu menghilangkan sekat – sekat perbedaan. Dengan kembalinya kerukunan umat beragama di Aceh Singkil, tidak menutup kemungkinan bahwa Aceh Singkil kedepannya menjadi ikon toleransi beragama di Indonesia, bahkan dunia.

 Dodik Praseyto

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER