Membaca Drama Penyanderaan WNI Oleh OPM
- 25 September 2015
- 00:00 WITA
- Nasional
- Dibaca: 2181 Pengunjung
Opini, suaradewata.com - Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melakukan penyanderaan terhadap dua warga negara Indonesia (WNI) di Papua Nugini. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Endang Sodik bahwa penyandera tersebut adalah kelompok Jeffrey yang merupakan buronan Kepolisian Republik Indonesia sejak tahun 2012. Kelompok itu masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) Polri karena kekerasan berdarah saat mereka menyerang Polsek Abepura.
Menurut Endang bahwa pada 7 Desember 2000, massa yang berjumlah sekitar 15 orang memasuki Polsek Abepura dan menyerang petugas di dalamnya dengan senjata tajam berupa kapak dan parang. Dalam peristiwa itu, satu polisi tewas. Rabu pekan lalu, 9 September, Kelompok Jeffrey menembak warga yang sedang mengelola kayu. Kasus itu berkembang pada 11 September. Dua orang melaporkannya ke Polres Keerom. Dari empat korban, dua di antaranya tak ditemukan.
Kedua orang yang hilang itu adalah Sudirman (28) dan Badar (20). Mereka penebang kayu yang bekerja pada perusahaan penebangan kayu di Skofro, Distrik Keerom, Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini. Kedua korban itu ternyata disandera Kelompok Jeffrey dan dibawa ke wilayah Papua Nugini. Penyandera meminta Sudirman dan Badar ditukar dengan rekan mereka yang kini ditahan di Polres Keerom.
Namun hal berbeda disampaikan oleh Juru Bicara OPM, Saul Bomay yang mengatakan bahwa penyanderaan terhadap dua warga negara Indonesia di Papua Nugini dipimpin oleh Lucas Bomay dari Dewan Komando Revolusi Militer OPM Republik Papua Barat. Penyanderaan bukan dikomandoi Kelompok Jeffrey seperti yang sebelumnya disebutkan oleh Tentara Nasional Indonesia.
Menurut Saul, berbeda dengan Lucas yang memimpin operasi di lapangan, Jeffrey lebih banyak bekerja di belakang meja atau belakang layar. Menurutnya penyanderaan dilakukan agar pemerintah mau menerima tawaran OPM untuk berunding dalam satu meja. Perundingan diminta dilakukan di luar negeri dengan dimediasi oleh negara ketiga yang independen. Materi perundingan yang ingin dibicarakan OPM adalah soal solusi pemerintah untuk berbagai masalah yang ada di Papua.
Namun demikian, menurut hemat kami bahwa terlepas siapakah sebenarnya aktor utama dibalik penyanderaan terhadap dua orang WNI tersebut. Tindakan penyanderaan ini tentu tidak dapat dibenarkan dan perlu di ambil langkah-langkah strategis penyelamatan terhadap kedua WNI tersebut.
Selain itu, tindakan OPM ini tentu sudah diluar batas dan perlu disikapi secara serius oleh pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pemerintah telah banyak membuat kebijakan-kebijakan penting demi kesejahteraan rakyat papua, bahkan otonomi khusus telah diberikan bagi masyarakat di papua. Kemudian tiba-tiba ada proses penyanderaan terhadap WNI di Papua, hal ini tentu patut dipertanyakan.
Besar kemungkinan bahwa tindakan OPM saat ini telah ditunggangi oleh pihak asing untuk memecah belah bangsa Indonesia demi kepentingan pribadinya. Apalagi OPM juga telah diberikan ruang untuk mendirikan sekretariatannya di luar negeri. Kita pun tentu tidak dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh para anggota OPM di luar negeri.
Setelah sepekan lebih, drama penyanderaan pun akhirnya berakhir. Pada 18 September 2015, militer PNG berhasil melepaskan sandera dan menangkap 7 orang penyandera di tengah hutan di Panimo, PNG. Selanjutnya, pukul 10.30 waktu setempat, tentara PNG menyerahkan Sudirman dan Badar kepada Konsulat RI di Vanimo, Elmar Lubis melalui upacara militer. Dari Konsulat RI, dua WNI tersebut langsung dibawa ke perbatasan RI-PNG di Wutung, Distrik Muara Tami dan selanjutnya diserahkan kepada perwakilan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri (BPPKLN) Provinsi Papua, Suzana Wanggai dan disaksikan Muspida plus Provinsi Papua. Kita mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih pada Pemerintah PNG yang tanggap dan cepat menyelesaikan permasalahan tersebut, saat ini para pelaku juga sudah ditahan.
Namun jika melihat dari upaya pemerintah dalam meningkatkan integritas bangsa di Papua dan membaca aktivitas OPM saat ini jelas ada hal yang sangat janggal. Ada kekhawatiran bahwa proses penyanderaan yang dilakukan oleh pihak OPM ini telah disusun secara sistematis guna menarik simpati dan membangun opini bahwa Papua masih terus bergejolak dan tindakan mereka tidak akan pernah berhenti selama tuntutan mereka untuk merdeka tidak dipenuhi. Padahal kita juga sama-sama telah mengetahui bahwa ini hanyalah “akal-akalan” pihak kepentingan tertentu terutama asing untuk menguasai kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Papua.
Untuk itu, Pemerintah dan masyarakat Indonesia, terutama rakyat di Papua jangan sampai terpancing dengan gerakan OPM tersebut. Sepertinya mereka sengaja melakukan tindakan frontal agar pemerintah melalui TNI terprovokasi mengangkat senjata. Ketika TNI mengangkat senjata, maka atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) negara asing yang memiliki kepentingan atas SDA Papua akan mengambil keuntungan dari aksi tersebut. Karena bagaimanapun NKRI harga Mati dan pemerintah harus mengambil kebijakan strategis mengamankan Papua, dimana salah satu caranya adalah mencari tahu siapa dalang utama dibalik gerakan OPM selama ini.
Yusack Keroompenulisadalah Mahasiswa Papua di Jakarta, Aktif Pada Kajian Arus Internasional Untuk Demokrasi Indonesia.
Komentar