Belajar Dari Insiden Trigana Air

  • 05 September 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2047 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Dunia penerbangan Indonesia kembali dirundung duka. Pada 16 Agustus 2015, sebuah pesawat tipe ATR-42 milik Maskapai Trigana Air yang melayani rute Sentani-Oksibil jatuh menabrak tebing di kawasan Pengunungan Bintang, Papua. Semua penumpang yang berjumlah 49orangdan lima orang awak pesawatdipastikanmeninggal dunia. Dan dapat ditebak, semua mata kini menyoroti kualitas pelayanan penerbangan, khususnya daerah terpencil yang cenderung terabaikan.

Salah satu sorotan tajam dari insiden Oksibil tampak pada kesimpangsiuran manifes penumpang yang di keluarkan pihak maskapai. Terdapat nama-nama penumpang yang awalnya menjadi korban karena namanya tercantum dalam daftar, namun diketahui belakangan nama-nama tersebut tidak menjadi korban lantaran tidak ikut penerbangan. Beberapa korban yang awalnya dikabarkan menjadi korban adalah tiga staff Indonesia Mengajar, yakni,  Hikmat Darsono, Yundritati Ardani, dan Susilo. Namun ternyata, ketiganya gagal berangkat karena tidak mendapat tiket penerbangan Jakarta-Jayapura.

Contoh lain, nama Ketua DPRD Pegunungan Bintang, Petrus Tegeken, tercatat dalam manifes penumpang dalam penerbangan nahas tersebut. Ternyata Petrus telah berangkat pada penerbangan sebelumnya dan tiketnya kemudian digunakan oleh John Gasper yang diketahui  merupakan Humas DPRD Pegunungan Bintang. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bagaimana sebenarnya mekanisme validasi penumpang di bandara-bandara kecil? Apakah percaloan tiket telah menjadi pemakluman bersama?. Jika iya, ini menjadi wajah buruk pengelolaan penerbangan di Indonesia yang lalai mengurusi hal-hal serius terkait keselamatan penerbangan.

Insiden jatuhnya pesawat perintis milik Trigana Air memang bukan kali pertama terjadi di Papua. Berdasarkan  Pusat Data Republika, pada 2011 terjadi dua kecelakaan pesawat perintis yang melibatkan pesawat Susi Air dan Pesawat Yayasan Jasa Aviasi Indonesia yang menyebabkan Pilot dan dua warga meninggal. Sedangkan pada 2012, Pesawat Trigana PK-YRF jatuh setelah ditembak kelompok sipil bersenjata yang menyebabkan satu orang meninggal.  Sementara itu,   data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan sejak 2007-2012,  telah terjadi kecelakaan pesawat perintis sebanyak 25 kali di Papua. Angka ini seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membenahi penerbangan perintis di daerah terpencil.

Angin segar perubahan pengelolaan penerbangan sebenarnya sudah berhembus sejak insiden Pesawat AirAsia QZ 8501 yang jatuh di Pangkal Embun, Kalimantan Tengah pada Desember silam. Menteri Pehubungan, Iganisius Jonan, langsung membekukan penerbangan beberapa maskapai dan memperketat izin penerbangan. Namun demikian, pengawasan dan pengelolan bandara di daerah terpencil kiranya masih luput dari perhatian pemerintah yang terindikasi dari semrawutnya data manifes penumpang Trigana Air.

Kecelakaan memang berada di luar kendali manusia, namun manusia dapat meminimalisasi resiko kecelakaandengan meningkatkan standard keselamatan. Belajar dari insiden Trigana Air, Pemerintah harus mengevaluasi total  praktik penerbangan komersil di daerah terpencil baik dari segi sarana maupun prasarana dengan memperketat perizinan penerbangan. Dalam hal ini, pemerintah bukan berarti membatasi masyarakat untuk berpergian, namun lebih kepada penyediaan penerbangan yang terjangkau masyarakat dan tetap mengutamakan faktor keselamatan. Selain itu, Kementerian Perhubungan juga perlu menindak tegas anggotanya yang terbukti terlibat dalam permainan perizinan penerbangan.

Selain itu, masyarakat diharapkan untuk turut berperan aktif dalam merubah mindset penerbangan perintis di daerah terpencil. Masyarakat harus mampu menolak membeli tiket dari calo dan bersikap kritis terhadap kelonggaran dalam proses validasi check in yang disinyalir tidak menggunakan identitas asli. Sebagai penumpang, masyarakat juga berhak menuntut pelayanan prima dari maskapai penerbangan karena keselamatan adalah hak setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, dengan adanya sikap kritis dari masyarakat diharapkan perusahaan penerbangan tidak lagi menyediakan jasa yang bersifat “seadanya”.

Realita penerbangan daerah terpencil harus diubah dengan melibatkan peran serta semua elemen bangsa.  Pemakluman terhadap keadaan penerbangan perintis yang minim fasilitas dan abai akan faktor keselamatan sudah seharusnya dihapus dengan menumbuhkan sikap kritis masyarakat yang berarti juga menaikan posisi tawar konsumen terhadap perusahaan penerbangan. Dengan menolak pemakluman, masyarakat juga diajak untuk meminimalisir resiko kecelakaan yang mungkin terjadi. Oleh sebab itu, mari jadikan momentum insiden Trigana Air untuk memperbaiki pelayanan penerbangan secara keseluruhan. Sehingga setiap orang akan merasa memiliki Indonesia yang tidak hanya terhubung melalui darat dan laut, tetapi juga udara.

Andreawaty, penulis adalah Pemerhati masalah Sosial Kebangsaan

 

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER