Kemampuan Menakar Permasalahan

  • 24 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2843 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Dalam pergaulan antar bangsa, jati diri bangsa semakin penting artinya, katakanlah sebagai fondasi dari pertahanan nasional bagi NKRI. Setiap bangsa memiliki jati diri yang jelas dan sangat wajar apabila mereka berusaha untuk memelihara dan mempertahankannya, bahkan bersedia untuk berperang. Terlebih di era globalisasi, yang mengusung demokrasi untuk kepentingan liberalisasi perdagangan, akan semakin menekan core values negara berkembang. Globalisasi nantinya akan mempertajam kesenjangan antara bangsa yang siap, dengan bangsa yang tidak siap untuk survive dan berkembang di era ini.  Baik pihak yang siap, maupun pihak yang belum siap, semuanya membutuhkan informasi mengenai dua hal, yaitu pengetahuan atau informasi tentang kondisi pihaknya sendiri (berbangsa dan bernegara), dan berikutnya pengetahuan tentang dinamika lingkungan strategi (pergaulan antar bangsa). Ketersediaan informasi di era informasi sekarang ini,  menjadi kebutuhan primer bagi semua pihak, terlebih bagi negara berkembang seperti NKRI yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, dan berada di jalan silang dunia. Normatif, penyedia informasi untuk penyelenggaraan pemerintahan adalah pihak intelijen nasional dengan semua jajarannya, yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan nasional. “Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka” (Sun Tzu, buku Seni Perang). Nampaknya masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini. Pesan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk dikenal sebagai NKRI.

Tuntutan Intelijen

Secara sederhana, intelijen dituntut untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan.  Secara sederhana pula, dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat. Sebaliknya tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu rencana atau strategi raya atau strategi keamanan nasional yang memenuhi kriteria feasible, acceptable, suitable. Sudah banyak contoh yang memperlihatkan pihak yang lemah mampu memukul pihak yang lebih kuat, oleh karena memiliki intelijen yang baik. Belakangan ini, banyak pihak sering mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, ataukah tidak maksimal, ataukah tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu latar belakang kepentingan yang berbeda, pengetahuan tentang intelijen yang relatif terbatas, dan memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik, misalnya penganut paham Clausewitz yang penganutnya cukup banyak di Nusantara. Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah perkara sesulit membuat roket keangkasa luar. Modal dasarnya adalah kemauan yang kuat, dan janganlah terlalu ‘Clausewitzian’.  Kemauan yang kuat didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory.

Globalisasi dan Strategi Pembangunan Nasional

Suatu realita yang perlu disadari oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi justru berada pada posisi strategis dan tidak mungkin menghindari pertemuan dengan kepentingan-kepentingan dari pihak lain. Situasi tersebut sudah mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan strategi nasional,  paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan globalisasi, berarti ada tujuh (economic, political, security, environmental, health, social, cultural).  Spektrum informasi yang sangat diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi. Strategi pembangunan Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.  Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai strategic objectives seperti yang diamanahkan oleh konstitusi, di era globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dikendalikan pula oleh negara industri dan atau negara maju. Mereka menguasai teknologi maju, juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat di dukung pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka mengendalikan tujuh aspek globalisasi tersebut. Sesungguhnya globalisasi ini mendatangkan terlalu banyak kebaikan kepada kita sehingga nilai-nilai dan budaya akan diikuti orang, namun bagi sesebuah negara kecil dan membangun, fenomena globalisasi ini tidak mustahil akan memusnahkan jati diri dan identiti masyarakatnya. Penetapan strategi tersebut,  membutuhkan sejumlah informasi terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya tidaklah mungkin merumuskan strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.

Globalisasi dan Generasi Muda

Nasionalisme masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun mulai menipis. Bangsa Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman hegemoni adi daya dalam perang ekonomi serta kegiatan intelijen yang merancang kekacauan, melumpuhkan ketahanan ekonomi serta bantuan yang mengikat, ideologi dan budaya yang merusak generasi generasi muda. Globalisasi dan arus kemajuan teknologi menjadi ancaman bagi berkembangnya ideologi dan pemahaman yang bertentangan dengan ideologi negara. Ketahanan nasional bukan hanya bergantung kepada aspek kekuatan militer, namun aspek sosial, politik, budaya dan ekonomi harus kuat untuk menjadi pendorong ketahanan nasional. Aspek Sosial, ekonomi, politik, pertahanan menjadi aspek penting yang harus pahami oleh generasi muda. Trigatra yang meliputi aspek demografi, geografi Indonesia menjadi pengetahuan dan wawasan akan menjadi banteng nasionalisme. Gerakan radikalisme kanan dan kiri merupakan sebuah ancaman nyata bagi ideologi negara. Sikap primordialisme ras menjadi potensi pemicu konflik dan ancaman bagi keberagaman di Indonesia. Namun, globalisasi dapat dimanfaatkan menjadi sarana untuk menggali ilmu dan wawasan kebangsaan bagi generasi muda. Globalisasi harus diimbangi dengan sikap nasionalisme generasi muda. Rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan akan menjadi banteng pengaruh paham dan ancaman yang yang menyebar melalui globalisasi dan informasi.

“Kesejahteraan dan benang merah rasa nasionalisme bahwa aku bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia “. ….NKRI harga mati!! tidak boleh lepas!!.

Fajri Permana, penulis adalah pemerhati masalah-masalah bangsa

 

 

 

 

 

    


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER