Aksi 212 Tidak Memiliki Manfaat

  • 22 Februari 2020
  • 13:45 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1713 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Aksi 212 yang digelar Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan kroninya  guna menuntut pemberantasan korupsi dianggap tidak memiliki agenda yang jelas. Pasalnya, penegak hukum sejak jauh hari telah berkomitmen memberantas korupsi, sehingga demonstrasi tersebut hanya dianggap selingan untuk memanfaatkan tanggal-tangal cantik.

FPI Cs dinilai cari perhatian setelah kemunculannya membawa isu korupsi yang telah meredup. Padahal kasus mega korupsi tersebut tengah didalami oleh penyidik juga KPK. Kehadiran ormas islam yang pernah moncer kala menggiring eks gubernur DKI terkait penistaan agama itu kembali setelah dinilai dua kali gagal memboyong kandidatnya menuju kursi pemerintahan. Mereka harus rela usahanya kandas ditengah jalan.

Bukan hal baru jika kini FPI Cs sedang gencar mengejar panggung pasca meredupnya popularitas ormas ini karena tersandung kasus perpanjangan SKT.  Mereka pun memaksakan adanya aksi 212 agar publik terus ingat dengan angka 212. Dijelaskan pula aksi ini akan berlokasi di sekitar patung kuda dan istana negara meskipun pada akhirnya aksi tersebut tidak banyak dihadiri pendukungnya yang sudah sadar. Mereka bahkan menunjukkan, surat pemberitahuan aksi yang telah diterbitkan. Berkaitan dengan ini, FPI Cs tetap menuai kontroversi, pasalnya ormas Islam ini dianggap tak memiliki izin pasca ogah mengurus SKT- nya. Lalu, aslikah surat pemberitahuan aksi tersebut?

Sebelumnya, Pihak Kantor Staf Presiden (KSP) dari lingkungan Istana Kepresidenan, Donny Gahral Adian menyatakan tidak mempermasalahkan rencana Aksi 212 yang menyoroti kasus-kasus korupsi di Indonesia. KSP berpesan agar Aksi 212 berlangsung dengan tertib.

Pihaknya menilai jika hal tersebut merupakan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UU. Mereka bebas menyampaikan aspirasi selagi dilakukan dengan cara-cara yang santun serta tidak menyinggung SARA, dan sesuai dengan peraturan UU yang berlaku.

Donny menuturkan, bahwasanya Pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya terhadap aparat penegak hukum yang sudah mulai memproses kasus-kasus tersebut. Sehingga pihaknya turut mempercayakan kasus ini kepada para aparat penegak hukum, polisi dan KPK agar dapat segera mengusut tuntas kasus-kasus itu dan memberikan informasi yang transparan kepada publik.

Dalam pernyataan yang dikirimkan oleh Sekretaris Umum FPI Munarman, aksi ini kabarnya dilatarbelakangi penggagas yang merasa penanganan sejumlah kasus mengalami perlambatan bahkan terkesan mandeg. Penggagas menyerukan 'Aksi 212 Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI' juga berbicara terkait lingkaran kekuasaan.

Munarman menuding pelaku mega korupsi terindikasi melindungi antara satu dan pelaku mega korupsi lainnya. Dia menuturkan hal ini terlihat saat terjadinya OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap komisioner Wahyu Setiawan yang juga melibatkan politisi PDI P Harun Masiku. Dan kini Harun Masiku masih berstatus buron. Selain skandal KPU-Harun Masiku, Munarman juga menyoroti sejumlah kasus mega korupsi yang hingga kini dinilai tidak jelas penanganannya.

Mengutip pernyataan akademisi Universitas Widya Mandira Kupang, Raja Muda Bataona, yang menyatakan bahwa fakta bahwa reuni 212 berujung nuansa politik sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Sebab, terlepas dari janji-janji yang sebelumnya dikumandangkan, pada akhirnya orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah melancarkan aksinya dalam konteks gerakan politik.

Jika dikaji secara empirik, sebenarnya Reuni 212 sendiri itu merupakan suatu gerakan politik, dan lebih spesifik lagi adalah sebuah gerakan politik populisme kanan. Hal ini berarti telah menjadi sesuatu yang wajar apabila gerakan ini diindikasikan oleh publik sebagai oposisi pemerintah. Dan hal tersebut dianggapnya sah-sah saja.

Maka dari itu, alih-alih terus berpayung dengan alasan tidak ingin menceburkan diri ke politik, Mikhael justru menyarankan mereka agar gerakan ini bertransformasi menjadi partai politik saja. Karena jika mereka memilih berjuang melalui jalur-jalur semacam gerakan massa, maka dapat berimplikasi dalam menentukan pengambilan kebijakan nantinya.

Jika demikian patutlah sebutan bermuka dua yang diberikan kepada mereka. Malas nyebur jadi Parpol tapi getolnya minta ampun jika ada isu terkait pemerintahan, apalagi disuruh "mboncengi" dengan tujuan kepentingan tertentu. Meski dianggap wajar, secara pribadi aksi demo yang bakal digelar nanti hanyalah sebuah sensasi serta minim manfaat. Lah, kalau mereka peduli, kenapa demonya baru sekarang. Pihak lain demonya udah lama, eh dia baru nongol batang hidungnya. Ditambah lagi ada indikasi tanggal cantik, menjelang pilkada pula. Ada apakah gerangan kiranya tujuan mereka?

Muhammad Yasin, Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER