Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Masyarakat Melalui Media Sosial

  • 20 Januari 2020
  • 20:15 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3916 Pengunjung
google

Oleh : Ahmad Pahlevi

Opini, suaradewata.com - Sejak gerakan ISIS menyeruak, proses penyebaran radikalisme berubah, yang sebelumnya melalui kamp-kamp pelatihan, kini kebanyakan penyebaran paham radikal tersebut terjadi melalui media internet. Seakan Media sosial menjadi inkubator radikalisme hingga kemudian tren radikalisme tersebar semakin mudah dan cepat.

Biasanya para pengguna sosial media yang didominasi oleh anak muda tersebut mendapatkan berbagai narasi yang memunculkan persepsi berupa ancaman bahwa dunia ini akan semakin memburuk.

            Setelah itu kelompok radikal akan membujuk pengguna sosial media untuk melakukan ‘perbaikan’ pada dunia, kelompok-kelompok radikal tersebut akan menyediakan peran bagi anak-anak muda dengan kalimat. ‘Kalau kamu mau jadi orang yang baik, kamu harus punya kontribusi’.

            Tentu saja kalimat tersebut membuat anak muda merasa tertantang, sehingga gairah mudanya akan tersalur pada gerakan ekstreme yang justru sebenarnya menyesatkan.

            Meski sudah menjadi ancaman sejak lama, harus kita akui bahwa penyebaran radikalisme merupakan tantangan baru yang terus berkembang, sejalan dengan perkembangan teknologi.

Sementara itu, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengingatkan agar lingkungan kampus dapat berperan sebagai peredam berbagai kondisi negatif seperti penyebaran paham radikalisme di Indonesia.

            Dalam orasi ilmiahnya dalam acara wisuda di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Ma’ruf menuturkan bahwa kampus UIN hendaknya dapat berperan sebagai stabilisator, utamanya dalam upaya meredam berbagai kondisi negatif yang dapat menciptakan instabilitas di dalam masyarakat, seperti penyebaran paham radikal.

            Ma’ruf Amin menjelaskan, penyebaran radikalisme saat ini bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak menutup kemungkinan di lingkungan pendidikan.

            Berbagai macam bentuk radikalisme tersebut antara lain menggunakan dalih agama, supremasi etnis yang melahirkan gerakan separatis, serta radikalisme dengan dalih kelompok tertentu.

            Dirinya memaparkan, radikalisme terjadi dan mendompleng dalam kehidupan bermasyarakat, saat ini radikalisme agama merupakan yang paling sering digunakan untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan.

            Tentu saja upaya penangkalan radikalisme menjadi sesuatu yang penting untuk menanggulangi penyebarannya secara masif hingga aksi teror yang dapat mengancam kehidupan masyarakat, karena radikalisme merupakan akar permasalahan utama dari terorisme yang mengancam kehidupan negara dan beragama.

            Langkah awal menangkal radikalisme tentu harus dimulai dari upaya menangkal cara berpikir radikal, untuk kemudian memutus proses transfer cara berpikir radikal tersebut dari satu kelompok kepada kelompok lain.

            Artinya, Terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi melalui level individu hingga kelompok.

            Oleh karena itu, terdapat 2 strategi pencegahan yang semestinya dilakukan, yakni secara hard approach yang merupakan bentuk penindakan dan penegakan hukum terhadap pelaku radikal, sehingga penganut paham tersebut dapat dijatuhi hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan soft approach yang merupakan bentuk pembinaan terhadap masyarakat untuk mengantisipasi adanya potensi radikalisme dan penggalangannya terhadap napi teroris maupun mantan napi teroris.

            Pada kesempatan berbeda, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan, pendekatan dengan menggunakan hati menjadi salah satu kunci dalam menyikapi radikalisme.      

            Strategi meredam radikalisme dapat dijabarkan dengan konsep 3H, Yaitu heart (hati), hand (tangan), serta head (kepala).

            Saat hati tersebut sudah tersentuh, maka akan lebih mudah lagi untuk mencegah atau menangani radikalisme.

            Peneliti sekaligus dosen dari UIN Syarif Hidayatullah Yunita Faela Nisa mengungkapkan, pembiasaan diri dalam menyikapi keberagaman tentu menjadi salah satu cara untuk mencegah radikalisme sejak dini.

            Hal ini tentu merujuk pada sebuah teori hipotesis kontak, dimana seseorang perlu mengenal bahwa pada dasarnya orang lain memiliki latar belakang yang beragam.

            Perlu diketahui juga bahwa  hal itu perlu diketahui dan dibiasakan, agar perbedaan bisa menjadi hal positif.

            Hal ini tentu saja berbeda dengan kecenderungan radikalis yang merasa dirinya paling benar serta membinasakan siapapun yang berbeda pandangan. Oleh karena itu kita haruslah meningkatkan awareness terhadap orang yang gemar mengatakan kafir terhadap orang lain hanya karena perbedaan keyakinan.

            Kita juga harus meyakini bahwa perbedaan di Indonesia itu indah, NKRI di Indonesia memiliki simbol Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Selaing itu literasi media sosial utamanya yang berkaitan dengan radikalisme

*Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER