Anies Baswedan Gagal Antisipasi Banjir dan Salahkan Pihak Lain

  • 09 Januari 2020
  • 19:15 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1631 Pengunjung
istimewa

Oleh : Ahmad Pahlevi )*

Opini, suaradewata.com - Seorang pemimpi hebat adalah yang berani mengakui kesalahannya. Kemungkinan hal inilah yang patut Anies Baswedan lakukan, pasca gagal kelola banjir yang melanda sejumlah wilayah di Jakarta. Dan bukan ngotot menyalahkan pihak lain.

Kritik demi kritik kian bertebaran menyudutkan sang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Omongan negatif yang seperti saling bertautan ini akibat kinerja Anies yang dinilai gagal kelola musibah banjir yang melanda ibukota. Pemberitaan yang makin panas kembali mendera ketika argumen-argumennya di media tak bersesuaian dengan kenyataan. Misalnya saja, 85 persen kota Jakarta tidak terkena banjir seperti wilayah Kemang. Dia mengklaim wilayah tersebut aman, karena pompa mobile yang dia gunakan berfungsi baik dan normal.

Tak butuh waktu lama, argumen tersebut kembali mendapatkan penyangkalan. Mulai dari anak Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang mengunggah video sepeda motornya terendam banjir di wilayah Kemang. Ada pula kesaksian warga yang menyatakan jika daerah tersebut dilanda banjir hingga setinggi 2 meter, dan menganggap banjir kali ini adalah yang terparah.

Seharusnya opini-opini semacam ini haruslah didasarkan atas fakta. Kalau sudah demikian, sama saja Anies menunjukkan bahwa dirinya sendiri tidaklah "becus" mengelola kota Jakarta. Hal tersebut makin diperparah saat Gubernur DKI itu menyebut banjir adalah tanggung jawab pemerintah pusat.

Menurut Politisi Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir mengutarakan jika Anies sedang gagal paham. Terkait UU Nomor 23 Tahun 2014 berkenaan dengan pemerintah daerah. Yang mana isinya ialah mengenai urusan pemerintahan konkuren yang berkaitan dengan sumber daya air dan daerah aliran sungai (DAS).

Inas Nasrullah mengutip pernyataan Anies Baswedan yang menyebut sejumlah lokasi di DKI Jakarta akan tetap banjir meskipun telah dilakukan upaya normalisasi sungai. Menurut Anies, penanganan banjir ke depan adalah tentang pengendalian air di bagian hulu dengan membangun sejumlah waduk, kolam, dan tanggul, tapi hal itu adalah kewenangan yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat.

Anggota DPR RI periode 2014 hingga 2019 ini menjelaskan, di dalam UU Pemerintahan Daerah telah diatur mengenai urusan yang berdampak negatif terhadap lintas daerah kabupaten maupun kota, dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintahan provinsi. Itu artinya, pelaksanaan dan pengelolaan DAS yang melintasi wilayah DKI Jakarta murni menjadi tanggung jawab Anies Baswedan sebagai seorang gubernur.

Inas Nasrullah kembali menegaskan, jika tanggung jawab gubernur di antaranya ialah melakukan normalisasi aliran sungai yang melintas di wilayahnya dengan melakukan beberapa upaya seperti; pengerukan, pembersihan, pelebaran, serta mengembangkan ekosistem sungai, termasuk mengatasi penampungan akhir. Dia bahkan, menilai Anies harus berhenti berdiplomasi dan segera bekerja berdasarkan tanggung jawab yang harus dijalaninya.

Berbeda dengan pemimpin sebelumnya, Anies ingin mengatasi dan mengelola banjir dengan konsep naturalisasi, dan bukan dengan jaman normalisasi sungai seperti yang telah dilakukan para pendahulunya. Konsep atau program ini telah didiskusikan semenjak masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Pihaknya mengklaim, konsep naturalisasi lebih ramah lingkungan dan telah diterapkan di sejumlah negara maju seperti Jepang dan juga Singapura. 

Dengan naturalisasi sungai Anies yakin bakal tercipta lingkungan yang ramah karena tetap memperhatikan sisi ekologisnya. Anies menyebut, normalisasi sering menjadi betonisasi, secepat mungkin membawa air ke laut. Kalau naturalisasi itu dapat memperlambat gerakan air. Konsep ini tidak menggunakan beton namun bronjong, batu kali yang memungkinkan biota bisa hidup. Cacing bisa masuk, ikan kecil juga bisa masuk. Imbuh Anies kala itu.

Anies bahkan menuangkan konsep naturalisasi itu ke dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu. Melalui sistem naturalisasi Anies bertekad untuk menghindari penggusuran dalam upaya merevitalisasi sungai. Kenyataanya yang ditempuh hanya akan menggeser rumah warga. 

Menurut sejumlah pihak, disinilah letak masalahnya. Seperti kita tahu hunian makin padat di wilayah bantaran kali. Hampir semua sungai tak hanya mengalami pendangkalan namun juga berkurang luasnya. Menyusut dari yang sebelumnya 50 meter menjadi sekitar 15 meter.

Maka dari itu proyek pengerukanlah yang harus jadi solusi. Terbentur janji saat kampanye, Anies urung melakukan sejumlah penggusuran demi lancarnya proyek pengerukan. Akibatnya upaya ini mandeg sia-sia. Padahal, sekitar April lalu Anies telah menyebut program naturalisasi akan dapat dilihat hasilnya akhir tahun 2019. Namun yang terjadi malah pembuatan lintasan khusus sepeda dengan panjang 63 kilometer, bongkar pasang trotoar dan wacana persiapan balap mobil listrik formula E.

Dari kejadian ini akhirnya warga mulai nyinyir, keadaan diperumit saat warga harus mengungsi karena banjir. Mereka menilai Anies hanya terus berwacana tanpa merealisasikannya. Bahkan, kegagalannya mengelola banjir ini makin diperkuat oleh adanya pemangkasan anggaran pembebasan lahan hingga Rp500 miliar.

Kegagalan Anies kelola banjir sangatlah nyata, jadi wajar saja jika kemudian banyak pihak yang tak menginginkan kinerjanya diteruskan. Logikanya, kalau sang Gubernur tak segera berbenah mau jadi apa Jakarta 3 tahun kedepan? Padahal 2 tahun saja telah berlalu sia-sia, sangat disayangkan!

)* Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER