Kebijakan Pemerintah Harus Didukung, Menuju Indonesia Yang Lebih Baik

  • 13 April 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3617 Pengunjung

Opini, suaradewata.com -Peralihan kepemimpinan nasional dari Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi)  pada 20 Oktober 2014, menuai harapan  seluruh masyarakat Indonesia untuk Indonesia yang lebih baik. Masyarakat berharap Presiden Jokowi dapat memberikan perubahan yang lebih baik, dalam segala  bidang, terutama masalah ekonomi bagi rakyat agar pemerintah dapat meningkatkannya. Harapan-harapan masyarakat antara lain pemerintah yang baru harus bekerja untuk kepentingan rakyat. Presiden Jokowi harus buktikan janjinya. Mudah mencari uang, kebutuhan pokok murah, masyarakat lebih sejahtera, pendidikanmurah dan  lebih merata, agar Indonesia bisa dikenal di mata dunia karena pendidikan dan kebudayaannya, dll.

Banyak pengamat yang menyatakan semester pertama Presiden Jokowi menjalankan pemerintahan,  belum banyak janji kampanyenya direalisasikan dan kebijakannya tidak merakyat. Kebijakan yang tidak merakyat antara lain Jokowi membentuk Kabinet Kerja dengan 34 kementerian, tidak  sesuai janjinya saat kampanye yang akan membentuk kabinet ramping,  Program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), oleh sejumlah kalangan dinilai hanya "ganti baju" kebijakan Presiden SBY.

Politikus Partai Demokrat Wahidin Halim menyebut KIP pada masa presiden SBY bernama Bantuan Siswa Miskin (BSM) atau pengembangan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). KIS merupakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan BPJS yang telah ada di APBN 2014. KKS adalah program pemberian uang tunai kepada keluarga miskin atau Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah dilakukan pemerintahan SBY.Masalah anggaran Kartu Sakti juga sempat menjadi polemik.  Mensesneg menyatakan sumber anggarannya berasal dari CSR BUMN, yang kemudian diralat oleh Menkeu bahwa sumber dananya berasal dari APBN 2014.

Belum lagi masalah, naik turunnya harga bbm bersubsidi, dimulai  pada 17 November 2014, harga premium dari Rp 6500 menjadi Rp 8.500. Solar dari Rp 5500 menjadi Rp7500, sampai terakhir harga premium menjadi Rp. 7.300/liter. Hal ini mendapat sorotan karena selain memicu kenaikan harga bahan pokok, kebijakan diambil saat tren harga minyak dunia terus melemah.

Kebijakan yang kontra lainnya Presiden Jokowi mengusulkan Komjen Pol Budi Gunawan yang disebut-sebut punya rekening gendut dan belakangan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, 13 Januari 2015, menjadi calon Kapolri tunggal yang akhirnya disetujui oleh DPR RI. Presiden Jokowi dinilai tidak mendukung pemberantasan korupsi karena mencalonkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.

Menteri BUMN, Rini Soemarno,  yang ingin menjual gedung BUMN dan Penenggelaman tiga kapal asing di perairan Anambas, Kepri, 5 Desember, dinilai hanya pencitraan karena  infonya  kapal yang ditenggelamkan merupakan hasil tangkapan 2008 dan sudah rongsokan.Menpan-RB Yuddy Chrisnandi melarang instansi PNS rapat di hotel. Dampaknya hotel sepi, mulai ada PHK karyawan. Yuddy dinilai tidak paham APBN yang dikeluarkan lewat pos belanja pemerintah itu juga berfungsi untuk stimulus perekonomian. Juga terkait kebijakannya membatasi PNS yang punya hajatan hanya boleh menyebar undangan untuk 400 tamu saja dan yang terbaru memblokir puluhan situs Islam oleh Kemenkominfo dan naiknya uang muka kendaraan bagi pejabat negara. Akibat kebijakan yang tidak tepat tersebut atau kinerja Presiden Jokowi yang tidak maksimal maka ditengarai nilai mata uang rupiah menjadi melemah.

 

Masalah lain yang timbul dipermukaan, Hubungan Presiden Jokowi dengan partai utama pengusungnya, PDI Perjuangan akhir-akhir ini dikabarkan memburuk. Terlebih, ada beberapa keputusan Presiden Jokowi yang berseberangan dengan partai yang membesarkannya itu.

Menurut pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung/Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK), Muradi, mengatakan memburuknya hubungan itu tidak terlepas dari persoalan komunikasi. Selama ini justru PDIP seolah-olah menjadi oposisi bagi Jokowi. Di sisi lain, Jokowi juga terlihat enggan mengkoordinasikan kebijakan yang dibuatnya dengan partainya.  Sejumlah persoalan yang mengganggu hubungan PDIP dengan Jokowi. Yang pertama adalah penunjukan Jaksa Agung dari kader Partai NasDem. PDI P merasa bahwa Jokowi lebih mengakomodir keinginan partai lain daripada kader partainya sendiri. 

Persoalan kedua adalah keputusan Jokowi menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai kepala staf kepresidenan yang tanpa dikonsultasikan dengan Megawati maupun  PDIP. Yang ketiga adalah langkah Jokowi membatalkan keputusannya mengajukan nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang mengundang reaksi keras PDIP.

Persoalan keempat yang memperburuk hubungan PDIP dengan Jokowi adalah  kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini tidak pro-rakyat. Kebijakan Jokowi dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) justru jauh dari cita-cita Trisakti dan Nawacita.   Warna kerakyatannya dikalahkan oleh pendekatan pro-pasar dan bernuansa neolib.Karenanya, menyarankan agar PDIP menegaskan pola hubungan dengan Jokowi. Tujuannya, agar cita-cita PDIP mensejahterakan rakyat bisa diakomodir dalam kebijakan-kebijakan Jokowi.

Karena Jokowi adalah kader dan petugas partai, maka perlu komunikasi yang baik dalam setiap kebijakan yang akan dibuat agar seirama dengan platform PDIP. Jika seirama, Jokowi tentu akan mendapat back up politik penuh dari PDI Perjuangan maupun mitra koalisinya di KIH (Koalisi Indonesia Hebat).Selain itu Muradi juga menyarankan Jokowi agar selalu mengkomunikasikan terlebih dulu kebijakan yang akan digulirkan dengan PDIP dan mitra koalisinya di KIH. Yang tak kalah penting,  semestinya Jokowi tidak hanya mencari masukan dari relawan pendukungnya tetapi juga dari partai pengusungnya.

Belum lagi aksi mahasiswa dibeberapa daerah yang menolak kenaikan harga bbm dan kinerja dari pemerintahan Jokowi, antara lain terjadi di Lampung oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Lampung, Para mahasiswa menggelar aksi di Tugu Adipuran, pusat kota Bandar Lampung. Di tengah keramaian arus lalu lintas, mahasiswa bergiliran berorasi meneriakkan menolak kebijakan Presiden Jokowi yang semakin hari semakin menyengsarakan rakyat.

di Universitas Negeri Jambi (Unja) yang menolak kedatangan wakil Presiden JK, isu yang diangkat salah satunya yaitu kenaikan BBM,  Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Madiun, menggelar unjuk rasa menolak kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Ponorogo dan Madiun, Jawa Timur,  dalam aksi tersebut mereka memiliki lima tuntutan penting. Tuntutan itu di antaranya normalisasi harga beras, stabilisasi harga elpiji, kembalikan subsidi BBM, perbaiki distributor pupuk, dan kembalikan aset-aset bangsa Indonesia yang sudah dikontrakkan ke pihak asing.Kami menolak kedatangan Jokowi ke Madiun. Kondisi negara yang semakin sulit ini semua tanggung jawab pemerintah, jangan membuat masyarakat semakin galau.

 

Tidak ketinggalan di Provinsi Bengkulu,  ratusan mahasiswa Universitas Bengkulu yang tergabung dalam "Koalisi Biru Melawan" menggelar aksi unjuk rasa. Dalam aksi, mahasiswa membawa replika jenazah yang dibalut kain berwarna biru dan diberi topeng Presiden Jokowi. Massa juga membawa spanduk dan poster bertuliskan ‘Kembalikan Jokowi Ke Solo. Begitu juga dengan di Pamekasan, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat STAIN Pamekasan turun ke jalan dan melakukan memblokade akses jalan provinsi, tepatnya di Jl Raya Panglegur sebagai bentuk protes atas kenaikan harga BBM.

Di Klaten, sebanyak 45 mahasiswa Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten melakukan longmarch berjalan mundur sejauh tiga kilometer. Sementara di Jakarta, sekitar 200 massa buruh dari Federasi Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FSBTPI) melakukan orasi menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di akses masuk Pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Serta aksi aksi mahasiswa lainnya di daerah di Indonesia. 

Menurut mediaonline news. Com, Ribuan  elemen mahasiswa Indonesia dikabarkan menggagas "Gerakan 20 Mei 2015 Turunkan Jokowi". Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang carut-marut. Bahkan, kondisi kacau saat ini dinilai mirip dengan masa akhir Orde Baru tahun 1998.

Banyaknya penolakan kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai tidak pro rakyat, yang dilakukan oleh elemen masyarakat,  puncaknya pada kenaikan harga BBM yang mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok, pemerintah harus  mensikapi dengan positif. Elemen masyarakat juga diharapkan jangan hanya mampu mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat, tetapi sebaiknya  diberikan solusi agar kebijakan yang tidak pro rakyat menjadi kebijakan yang pro kepada rakyat. Tugas elemen masyarakat mengingatkan pemerintah apabila tidak berjalan di jalur yang benar.

Pemerintah sudah beritikad baik memperbaiki kritikan dari masyarakat misalnya dalam hal  naiknya uang muka kendaraan bagi pejabat negara atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden (Perpres) no. 39 Tahun 2015, tentang soal kenaikan uang muka bagi pembelian mobil pejabat negara perorangan dari Rp116.500.000 menjadi Rp 210.890.000, presiden sudah mengklarifikasi melalui   Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, yang menyatakan dalam waktu dekat  akan menerbitkan Perpres untuk mencabut Perpres tersebut.

Untuk kenaikan harga BBM bersubsidi yang naik turun mengikuti harga pasar tentunya sudah  diperhitungkan secara matang oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan menambah sengsara masyarakat. Karena dengan adanya harga BBM yang mengikuti harga pasar maka keuangan negara dalam APBN tidak menjadi minus akibat subsidi yang terlalu besar dan pembangunan untuk rakyatpun tidak menjadi terkendala. Untuk di daerah-daerah terpencil seperti di Kabupaten yang ada di Bengkulu, ketersediaan premium dibutuhkan dan biasanya ditingkat pengecer harganya lebih dari Rp. 7.300 atau harga resmi pemerintah dan masyarakat tidak masalah asalkan premiumnya tersedia.

Menurut pendapat kami, saat ini yang dibutuhkan negara Indonesia untuk membangun dan memperbaiki negara khususnya dalam 5 tahun kedepan atau dalam pemerintahan Jokowi, baik infrakstur maupun  non infrastuktur  adalah dukungan dari rakyat Indonesia. Siapapun presidennya kiranya tidak akan mampu langsung membawa negara Indonesia menjadi lebih baik. Perlu proses dan apabila dalam perjalannya dipandang tidak baik atau diluar jalur maka elemen masyarakat dapat mengkritisnya, bukan “menghakiminya” dengan menurunkan pemerintah. Apabila ada pembantu presiden yang tidak cakap atau maksimal dalam bekerja secara profesional dan proporsional maka bisa merekomendasikan kepada pemerintah untuk menganggantinya dengan yang lebih baik (kita juga harus menghormati hak prerogatif presiden) . 

Semua elemen harus bersatu tidak terkecuali, elemen mahasiswa yang rencananya akan melakukan aksi besar-besaran pada 20 Mei 2015 untuk menurunkan Jokowi, ormas dan juga PDIP sebagai partai pengusung Jokowi dalam Pilpres yang lalu harus dapat berkoordinasi yang  baik dengan pemerintah. Juga kepada Relawan pendukung Presiden Jokowi yang tergabung dalam Jaringan Nasional Relawan Aswaja harus dapat bersinergi kepada partai pengusung Jokowi yaitu PDIP P, untuk membantu Jokowi dalam menjalankan pemerintahan, bukan saling menyalahkan. Buang sifat ego jauh jauh demi kemajuan bangsa kedepan.Semoga dengan bersatunya semua elemen dengan mencarikan solusi atas permasalahan-permalahan yang ada membuat pemerintah yang dipimpin oleh presiden Jokowi  dalam lima tahun kedepan dapat membawa negara Indonesia menjadi lebih baik.

Bahrul SE, penulis adalah tokoh Pemuda Kabupaten Kaur, Bengkulu

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER